Jika sekarang di kanal-kanal YouTube banyak dijumpai ceramah-ceramah dan tuduhan-tuduhan terhadap istilah Al Salafiyah yang digunakan oleh pondok-pondok pesantren di Indonesia, maka tuduhan-tuduhan tersebut memiliki banyak kelemahan. Pertama, mereka menilai istilah Al Salafiyah sebagai teks yang mati.
Kedua, mereka juga menggunakan istilah Al Salafiyah tersebut agar merasa benar sendiri untuk dua hal. Pertama, untuk mengaburkan pandangan umum terhadap penggunaan istilah tersebut. Kedua, menarik simpatik orang awam: mereka sama dengan kalangan umat Islam pada umumnya agar diterima. Menghilangkan jejak-jejak anomali mereka. Serta, memaksa umat tunduk kepada teks.
Ketiga, mereka gencar melakukan propaganda-propaganda guna mengabaikan konteks.
Jauh-jauh hari, Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan kalau teks tertulis pada lembaran-lembaran kertas adalah mati. Dapat hidup kembali dengan dua hal. Pertama, dibaca, karena huruf yang didiamkan akan mati. Kedua, Al Quran bersifat qadim (abadi dan melekat kepada Allah), sementara lembaran-lembaran tertulis (mushaf) bersifat hadis (baru).
Terlalu banyak penceramah-penceramah yang cacat logika, berkata kembali kepada Al Quran dan Sunnah, padahal mereka tidak sadar kalau teks merupakan produk dari konteks.
Arti Al Salafiyah sebenarnya adalah konteks agar teks bisa dikonteksasikan, ditempatkan pada proporsinya yang pas. Al Salafiyah sering diartikan oleh kalangan ilmuwan muslim sebagai sebuah kurun. Kurun dihitung 200 tahun sejak masa Rasulullah saw hingga setelahnya. Pada kurun tersebut dinilai masa keemasan, karena produktivitas umat Islam sangat tinggi, baik di bidang tsaqafah (keilmuan), hadlarah (arsitektur), tamaddun (ketertiban hukum), dan adab (susastra).
Dari keempat bidang garapan budaya tersebut, tentu tidak berdiri sendiri, seperti ide yang tiba-tiba jatuh dari langit. Ada elemen-elemen penting yang saling menopang sehingga menguatkan antara satu dengan yang lain.
Dari aspek kata, ada filologi (fiqh al lughah) yang berbicara. Sebuah kata ada sejarahnya. Sama seperti manusia, sebuah kata tidak tiba-tiba Islam meskipun berada di dalam kitab suci Al Quran. Jadi, Al Salafiyah tidak segampang yang disebutkan dengan tiba-tiba merujuk kepada Al Quran dan Al Sunnah secara tekstual. Ada proses rekonstruksi dalam membangun wacana-wacana yang tertulis, baik di dalam teks-teks Al Quran maupun Al Sunnah. Sebuah kata bisa saja hadis (baru hadir) atau muhdas (dihadirkan), dan itu bid’ah (kreatif). Namun, makna dan substansinya bersifat qadim. Jika ada asumsi dan argumen harus kembali kepada Al Quran dan Al Sunnah, lalu bagaimana dengan titik dan harakat yang tidak ada pada masa Rasulullah saw? Apakah Al Quran dan Al Sunnah itu bisa dibaca? Tetap saja hal itu memerlukan konteks dan tidak sesederhana berkata kembali kepada Al Quran dan hadis.
Ada banyak logika-logika gagal. Berkata antimazhab, padahal pembuat mazhab baru. Berkata bid’ah, padahal dirinya produk bid’ah. Berkata kembali Al Quran dan Al Sunnah, padahal liberal. Berbicara akidah, padahal yang dimaksud ideologi.
Ngawi, 4 Mei 2022.