Laki-laki itu menyusuri jalan tanpa tahu kemana. Keluar dan bergerak hanyalah pilihannya saat itu. Puluhan beban liar di pikirannya seakan ingin keluar bersama merenggut ketenangan akhir pekannya. Biarlah kuberjalan, pikirnya. Biar sedikit banyak meniru para nabi yang diperintah berjalan di atas bumi oleh penciptanya.
Di sepanjang jalan, dia melihat berjajar pedagang kecil yang menatap kosong. Bisa jadi tak ada pembeli yang belum membeli dagangan mereka, padahal, ini akhir pekan. Ah, bebanku ternyata tak seberat mereka. Laki-laki itu kembali menghela nafasnya.
Dahaganya mulai terasa. Berhentilah dia ke sebuah minimarket itu. Langkahnya menuju mesin uang, dan mengambil sisa-sisa gajinya yang hampir tak bersisa itu. Cukuplah buat membuka lemari es besar itu, pikirnya. Bayar di kasir, selesai sudah. Sekaleng susu steril pilihannya. Karena dia sudah bertarung habis dengan pikirannya, dia tak mau kalah lagi dengan kesehatannya.
Di luar minimarket, di atas kuda besinya, dia memandang. Sesosok pemuda, sedang duduk. Meremas mie instan. Mentah. Persis yang dia lakukan dulu, ketika di pesantren. Pikirannya kembali berkecamuk. Sehina inikah syukurku di hadapanNya? Bahkan, jika seluruh kantongnya telah habis, sampai detik ini dia belum pernah makan mie instan mentah lagi. Satu kalipun belum pernah.
Betapa rendah rasa syukur itu, dalam hatinya melenguh keras.
Laki-laki harus berani menghadapi apapun. Seberat apapun. Inilah kenapa, para Nabi lebih dipilihNya sebagai lelaki. Walau tanpa sosok perempuan, lelaki bukanlah siapapun.
Kuda besinya kembali dipacu. Menuju yang tak terbatas. Entah kemana. Dia hanya meyakini, rahmat tuhannya, ada dimana-mana. Seluas dosanya yang berbuih itu, bahkan lebih.
Dalam penat pikirnya, dia masih ingat betul perkataan tuhannya, bahwa semua hal baik dalam kitabNya itu, bermuara pada satu hal, yaitu kesabaran. Surga, banyak ditempuh dgn berbagai hal, tapi sabar, adalah akses penuhnya. Tak ada kebaikan yang tak berbasis kesabaran, sama sekali.
Ahad pagi.
12 November 2023.