Bejaten-Net26.id Kitab kuning adalah salah satu ciri berdirinya sebuah pondok pesantren di Indonesia, selain masjid, rumah kiai, dan asrama santri. Begitu pula, di Pesantren Bejaten. Secara turun temurun, tradisi ini terus berlangsung hingga sekarang.
Asal Usul Dua Nama Zainuddin
KH Abdullah Umar pernah mesantren di Pesantren Langitan yang kala itu diasuh oleh Mbah Sholeh. Pada masa itu, Pesantren Langitan merupakan sentral pendidikan bagi santri-santri pejuang yang masyhur, sehingga menarik minat banyak kalangan. Sebut saja misalnya Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari, KHM Cholil Bangkalan, KHA Wahab Chasbullah, KH Djazuli Usman Plosomojo, dan masih banyak kiai-kiai beken yang menimba ilmu di Pesantren Langitan. Dasar pendidikan yang diterapkan di Pesantren Langitan adalah kitab-kitab fiqh, selain ilmu-ilmu alat lainnya.
Pesantren Bejaten pada dasarnya memang memiliki jejak yang sama dengan Pesantren Ploso. Hal ini ditandai dengan keakraban antara KH Abdullah Umar dan KH Djazuli Usman. Sebelum KH Zainuddin kersa ke Mojosari, KH Abdullah Umar adalah orang yang berhasil membujuk rayu agar segera hijrah ke Nganjuk. Sejak itu, KH Zainuddin menjadikan Pesantren Mojosari sebagai pusat penggemblengan santri-santri pejuang. Rata rata, kiai kiai besar di Pulau Jawa pernah ngalab berkah dan merasakan gojlokan khas Pesantren Mojosari. Di kemudian hari, KH Abdullah Umar dan KH Djazuli Usman sepakat menamakan putera masing-masing dengan nama Zainuddin.
Menurut riwayat KH Nachrowi Dalhar Watucongol, KH Abdullah Umar pernah menimba ilmu di Mekah sekitar enam tahun lamanya.
Dalem Kasepuhan Lor dan Kasepuhan Wetan
Setelah pulang dari Mekah, KH Abdullah Umar dijodohkan dengan Nyai Hj Umi Solihah, puteri KH Abdillah Bachri Pulutan. Dan, semenjak itu, ia mulai istiqamah membuka pengajian di Pesantren Bejaten. Pesantren Bejaten pun menjadi pusat jujugan santri-santri yang hendak menuntut ilmu dari berbagai daerah. Apalagi pengaruh Raden Surawijaya yang masih sangat membekas kuat di wilayah kekuasaannya, ditambah wibawa kesantrian yang dibawa oleh KH Hasan Munawar. Otomatis, di dalam tubuh KH Abdullah Umar mengalir darah bangsawan dari kakeknya sekaligus keulamaan dari ayahnya.
Menurut KHM Abdillah, KH Abdullah Umar wafat ketika ia berusia 2 tahun. Waktu itu, ia tidak tahu kalau ayahnya telah meninggal. Yang dia saksikan, Pesantren Bejaten menjadi sangat ramai dan anak-anak bersenang-senang dengan kendaraan tamu yang menyampaikan rasa belasungkawa.
KH Abdullah Umar meninggalkan 10 orang putera dan puteri, sementara istrinya, Nyai Hj Umi Solihah, adalah seorang nyai yang tidak mengerti banyak persoalan suaminya.
Pengajian di masjid pesantren kemudian diampu oleh menantunya, KH Affandi, sebelum pindah ke Ambarawa.
Sistem perkawinan yang “muleg” di Salatiga dan sekitarnya menyebabkan terjadinya perkawinan silang antarputera dan puteri pesantren. Maka, wajar, jika kemudian antarpesantren memiliki hubungan kefamilian. Di samping, mempertimbangkan darah kebangsawanan.
KH Ahmad Zainal Abidin, putera ketiga laki-laki, yang tidak sempat mengenyam pendidikan, kecuali kepada KH Abdullah Umar, dinikahkan kepada Nyai Kursiyah, puteri Lurah Pabelan. Ia kemudian hijrah ke Desa Candirejo atas permintaan mertuanya. Sementara KHM Zainuddin beserta adik-adiknya menjadi tanggung jawab kakak-kakaknya yang telah menikah.
KHM Zainuddin, selain belajar kepada ayahnya, ia sempat mengenyam pendidikan pesantrenya di Termas, Pacitan. Hingga akhirnya, mengaji dan membantu kakak iparnya, KH Affandi.
Setelah KH Affandi hijrah ke Ambarawa dan KHM Zainuddin selesai mesantren, ia mengambil alih tanggung jawab keluarga dan pengajian di masjid pesantren. Adik-adiknya, KHM Zuhdi Amin menikah dan menetap di Pesantren Sraten, KH Zaenal Muttaqien mesantren ke Tebuireng, KHM Mahfudz mesantren ke Watucongol kepada KH Nachrowi Dalhar, sementara KHM Abdillah pergi pulang mesantren ke Poncol sebelum akhirnya mesantren di Plosomojo Kediri dan Al Muayyad Solo.
Usai mesantren di Watucongol, KHM Mahfudz menikah dan tinggal di Desa Tegaron. Sementara KH Zaenal Muttaqien dan KHM Abdillah tetap berada di Desa Bejaten.
Semula, KHM Abdillah hendak diboyong oleh mertuanya ke Desa Jombor. Namun, atas kesepakatan keluarga, akhirnya tetap tinggal di Desa Bejaten dengan menempati Dalem Kasepuhan Lor, peninggalan KH Abdullah Umar. Sementara KHM Zaenuddin, sang kakak, mengalah dengan mendirikan Dalem Kasepuhan Wetan. Pengajian kitab di masjid pesantren pun diampu oleh keduanya, KHM Zainuddin dan KHM Abdillah.
Menjelang wafatnya, KHM Zainuddin berwasiat agar estafet Pesantren Bejaten dilanjutkan oleh KHM Abdillah. Dan, kemudian, pengajian kitab rutinan di masjid pesantren dilanjutkan oleh KHM Abdillah dan KH Zaenal Muttaqien hingga keduanya wafat.
Memang, perkembangan pendidikan di Pesantren Bejaten tidak sepesat seperti Pesantren Tebuireng atau Pesantren Ploso, karena belum tersistem dan membentuk jenjang jenjang kelas Sehingga kemajuannya tetap mengalami pasang surut.