Subuh kali ini berbeda. Saya salat di stasiun Gambir. Kedua kalinya, saya menginjakkan kaki di ibukota. Walau bagi sebagian orang ini hal yang biasa, tapi bagi saya, ini selalu istimewa. Bahwa, Allah selalu memperjalankan hambaNya dengan sebuah maksud dan tujuan tertentu.
Seperti tanpa arah, saya dan dua orang lainnya butuh petunjuk. Seperti manusia yang butuh petunjuk dalam hidupnya. Seperti fungsi Al Quran sebagai petunjuk. Namun, fungsi ini juga ada pada kitab lain, Taurat, Zabur, ataupun Injil.
Alhamdulillah, karena keluasan hati salah satu alumni MQ yang berkenan, kami mendapat tempat untuk sekadar melepas lelah. Pesantren yang lumayan besar. Bangunannya megah. Al Nahdlah namanya. Salah satu pendirinya adalah Bapak Asrorun Ni’am, nama yang bagi sebagian orang, tidak asing. Tenpatnya bagus, dengan fasilitas lengkap. Santrinya sudah sekitar 120, putera maupun puteri.
Setelah bersih diri, kami kembali butuh petunjuk untuk menyambung kebermanfaatan. Silaturahim namanya. Teringat dua nama. Nama yang dulu bagi saya pribadi cukup saya kenal baik. Keduanya, adalah senior saya di pesantren. Cak Rozi dan Cak Ziyad. Kenapa dipanggil cak? Karena dulu, pesantren mengajarkan saya, bahwa untuk menghormati yang lebih tua -baik umur dan ilmunya, kami harus memakai panggilan akrab, yaitu cak. Sebuah hal yang jarang saya temui di pesantren lain, yang mungkin, berubah menjadi kang, atau juga gus.
Cak Rozi membalas pesan saya. Berkenan menemui. Alhamdulillah. Sebuah mukjizat bagi saya. Karena tanpa rencana. Beliau orang yang sibuk di mata saya. Maka, pertemuan ini adalah i’jaz bagi saya. Seperti fungsi Al Quran yang lain, sebagai i’jaz atau keajaiban untuk menampakkan kebesaran Allah kepada umat manusia. Untuk fungsi ini, hanya Al Quran yang punya, tidak ada di kitab sebelumnya.
Beliau sedang nganggur katanya. Tepatnya sedang memegang laptop dan dua buah kitab tebal yang ada di sebelahnya. Sebuah arti lain dari kata nganggur bagi saya. Sebuah pemahaman lain dari sebuah hadis, “Termasuk kebaikan Islam seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat baginya.” Seharusnya, menganggurnya kita harus juga produktif dan bermanfaat, begitulah kira kira nasihatnya secara tidak langsung kepada kami.
Tulis apa yang ingin ditulis, begitulah pesan Cak Rozi. Beliau ingin meyakinkan, bahwa jangan ragu ketika ingin menulis sesuatu. Kitab yang beliau tulis dan berjilid banyak itu, ditulis ketika dulu beliau pernah berazam bahwa suatu saat nanti, saya akan menulis.
Cukup azamkan dalam hati, lalu tulis. Bahkan, diakhiri dengan, jangan dengarkan apa komentar orang, atau juga memikirkan, karyanya akan disenangi ataupun dibenci. Cukup tulis saja.
Percakapan kami akan berakhir. Kami akan pamit. Lalu, beliau beranjak masuk sebentar. Dan, membawa beberapa lembar poster kiai kinasih kami, KHM Yusuf Masyhar. Yang dipajang besar di ruang tamu Cak Rozi.
Lengkap sudah pesan beliau kepada kami. Bahwa Al Quran itu melebihi samudera. Secara lafadz saja, kita bisa tenggelam dalam lautan keberkahannya. Seperti keberkahan kiai kami di MQ. Setiap jengkal berkahnya, tak bisa diukur secara nalar dan rentang waktu zaman.
-Bersambung-