Pada masa Raja Airalngga (990-1049 Masehi) di Kahuripan (Jawa Timur) tercatat sebagian penduduknya sudah melangsungkan perkawinan dengan menggunakan emas kawin. Sebagaimana emas kawin secara historis merupakan tradisi umat Islam, terutama suku-bangsa Arab. Dan, terlepas dari pembahasan “jual beli perkawinan” dan cara berpakaian suku-bangsa Arab karena faktor alam dan lingkungan yang melatarinya setidaknya Islam mengajarkan budaya berpakaian dan emas kawin.

Kontes Kecantikan
Tujuan dari kontes kecantikan bagi kaum wanita setidaknya adalah untuk menonjolkan feminisme dan keunggulan intelektual. Tujuan ini bersesuaian dengan hasrat kaum wanita untuk tampil lebih menawan dan memiliki keunggulan keunggulan bila dibandingkan dengan kaum lelaki. Sehingga wanita bagi kalangan masyarakat Indonesia tidak hanya dipandang sebatas kanca wingking. Manak, macak, dan masak. Wanita pada dasarnya seimbang (relasi gender) dengan kaum lelaki yang memiliki intelektualitas dan integritas sehingga memerlukan tampilan tampilan “fashionable”.
Di dalam sejarah manusia, wanita lebih sering dipandang sebagai objek atau komoditas, baik secara lebih halus sebagai budaya maupun secara ekstrim sebagai budak belian. Sebagai objek dan komidtas, wanita sering ditampilkan selayak benda benda pajangan dengan penuh pesona, bahkan dipamerkan dalam upacara upacara resmi kenegaraan. Bagai perhiasan, wanita sering dipilih yang terbaik wajah dan penampilannya. Pada tradisi jual beli manusia, wanita sering pula dipajang di panggung panggung untuk dicari pembelinya. Pada pajangan ini, wanita diperintahkan untuk menampilkan sisi sisi sensualitas tubuh dan sosok maskulinitas pada dirinya. Pada sisi ini, telah tertoreh di panggung panggung sejarah pada masa lalu secara ekstrim.
Pada abad ke-19, gaya wanita Nusantara masih banyak yang tidak mengenakan pakaian yang menutup anggota tubuh secara utuh. Namun, Islam mengajarkan budaya berpakaian dan emas kawin. Sebagian suku-bangsa Nusantara yang telah mengenal Islam berangsur angsur merekondisikan gaya berpakaian. Dapat dibayangkan, pada masa lalu, pakaian minim adalah bagian dari keterbatasan keterbatasan budaya dan tradisi.
Mispersepsi Emas Kawin
Budaya manusia hidup dari tradisi. Setiap saat terus berkembang untuk mencari sisi sisi terbaik. Tradisi berpakaian di Arab mungkin didorong oleh kondisi alam yang terlalu dingin atau terlalu panas sehingga mereka berpakaian lebih ketat dengan menutup sekujur tubuh. Sementara masyarakat di Nusantara dikatakan hampir tidak menutup tubuh mereka karena juga faktor alam. Begitu pula, pada praktik praktik perbudakan, wanita dipandang sebagai komoditas yang memiliki nilai dan harga tertentu. Maka wajar, jika kemudian di dalam hadis hadis Rasulullah saw dalam bab “munakahat” lebih dikenal istilah “mahar” yang bersifat transaksional daripada redaksi kata “shidqun/shoduqat” yang digunakan di dalam Al Quran.
Di dalam Al Quran, menurut KHA Musta’in Syafi’ie, redaksi kata “shidqun” lebih mengekspresikan penghargaan Islam terhadap kaum wanita. Karena, “shidqun” atau mas kawin tersebut merupakan pemberian dengan ketulusan (nihlah), bukan karena besarnya nilai atau harga. Sehingga dalam praktik praktik perkawinan parasahabat yang tidak mampu boleh menggunakan “cincin besi” atau dalam kasus Sayidina Ali ibn Abi Thalib yang menggunakan baju besi perangkat perang sebagai mas kawin. Jadi, pada dasarnya, Islam mengajarkan budaya berpakaian dan emas kawin karena tingkat penghargaan dan ketulusan yang tinggi, bukan karena faktor mahal harganya.