Pengertian budaya Pasundaan atau Pasundan telah diberikan oleh kalangan peneliti arkeologi dan sejarah belakangan. Sering pula, sebutan nama nama kerajaan tertentu yang tidak punya nama, lalu diciptakan namanya sehingga orang orang akan dibingungkan dengan istilah kata Sunda, Priangan, atau Pajajaran. Kecuali, nama nama yang memang sudah tertulis di prasasti prasasti seperti Raka i Pikatan yang berarti Raja di (daerah) Pikatan. Raka i Watuhumalang atau Raja di (daerah) Watuhumalang, dan seterusnya. Khusus melacak kesundaan orang Sunda, garis budaya akan ditarik kepada istilah Tatar Sunda yang memiliki padanan kata Bumi Mataram, Bumi Medang, Bumi Galuh, dan seterusnya, yang membuat satu kesatuan entitas budaya. Hal ini dapat dilihat pada dominasi budaya Mataram misalnya yang membuat strata sosial melalui bahasa menjadi bertingkat: ngoko, madya, dan hinggil. Dengan kata lain, wilayah wilayah yang terpengaruh oleh budaya Mataram ini akan menggunakan bahasa bahasa bertingkat.
Entitas Budaya Kasundaan
Tidak semua wilayah di Jawa bagian barat mengadopsi budaya Sunda seperti di Indramayu dan Cirebon, begitu pula di Banten. Karena, tingkat akulturasi dan asimilasinya berbeda. Guna melacak kesundaan orang Sunda dapat dibandingkan dengan entitas yang berlaku di Jawa Timur pada masa Majapahit, ketika Majapahit Barat (Brang Kulon, Kertabhumi) yang berlokasi di Mojokerto terpisah dari Majapahit Timur (Brang Wetan, Wirabhumi) yang berlokasi di Lumajang. Terdapat dua entitas budaya yang saling berebut pengaruh. Maka, dapat disebut pula “Sunda-Pajajaran” atau Parahiangan Kulon yang berlokasi di Bogor berebut pengaruh dengan “Sunda-Galuh” atau Parahiangan Timur yang berlokasi di Garut.
Dengan demikian, kata Sunda lebih tepat disematkan kepada sebuah entitas kebudayaan yang hidup di wilayah bagian barat, khususnya wilayah Bogor dan Cianjur. Meskipun, belakangan, disebut istilah Tatar Sunda untuk membedakan dengan istilah Bumi Jawa. Namun, tetap memiliki kerancuan ketika dihadapkan pada istilah Bumi Parahiangan atau Bumi Pajajaran. Karena, membutuhkan fase fase sejarah tertentu ketika budaya itu menjadi dominan.
Oleh karena itu, kemunculan budaya Sunda dapat ditentukan dalam kurun waktu tertentu di dalam sejarah, karena disebabkan pertemuan budaya manusia Jawa dan Melayu, khususnya Sumatera bagian selatan. Tokoh yang hadir sebagai manusia Sunda adalah orang Melayu yang mampu menghadirkan budaya Sumatera bagian selatan dan Jawa yang masih berbudaya Pangguyangan atau Buni. Tokoh tersebut adalah Tarusbawa yang bergelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sunda Sembawa. Hal ini akan berbeda dengan budaya Pajajaran dengan entitas berbeda apalagi budaya Tarumanegara yang muncul jauh sebelum ada budaya Sunda.
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Ditemukan budaya megalitikum di bagian barat Pulau Jawa ribuan tahun lalu seperti budaya Buni di Lebak (Banten), budaya Pagguyangan di Sukabumi, serta budaya Cipari di Kuningan telah menandakan budaya manusia Jawa sudah maju dari segi pertanian, berburu, bahkan industri batik. Di Sumatera bagian selatan, masyarakat Bunian masih dianggap ada meskipun diselimuti misteri.
Prasasti batu bertuliskan Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak menyebutkan nama ibukota kerajaan Tarumanegara telah menandakan penggunaan budaya Hyang sebagai sebuah kabuyutan. Terkadang, hutan, sungai, gunung, dan laut adalah “istana” bagi orang orang zaman dahulu. Mereka tidak mementingkan bangunan yang kokoh untuk melindungi diri dari serangan musuh, tapi cukup dengan kekuatan alam.
Gambar buah Nila (Tarum) sebagai pewarna batik alami. Sumber: https://www.satuharapan.com/
Sunda Timur dan Sunda Barat
Terdapat kata kata yang disepakati oleh masyarakat Jawa pada umumnya, mulai dari timur hingga barat. Kata kata tersebut misalnya Hyang, (H)aji, dan Buyut. Khusus kata Parahiangan diambil dari kata Hyang tersebut, para-hyang-an. Dengan kata lain, budaya Hyang merupakan gejala umum yang ada di pulau Jawa. Bahkan, menjadi identitas budaya yang pertama dikenal di Nusantara sebelum muncul budaya budaya yang datang kemudian seperti (H)indu(s), Tiongkok, Persia, Arab, Afrika, dan Eropa. Budaya Hyang ini terejawantah ke dalam bahasa sehari hari seperti moyang (ma-Hyang), sembahyang (sembah-Hyang), tiang (Ti-Hyang), atau Dieng (Di-Hyang). Hyang adalah budaya umum masyarakat di Nusantara khususnya Jawa. Kata puyang (pu-Hyang) masih digunakan di Sumatera Selatan untuk menyebut nenek moyang.
Sebagai perbandingan pula, Menurut Eugenius Marius Uhlenbeck dalam bukunya A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura (1964), rumpun bahasa Banyumasan yang eksis saat ini lebih tua dibandingkan dari subbahasa yang digunakan oleh masyarakat di pulau Jawa pada umumnya.
Kabuyutan Galuh Purba dipercaya memiliki cakupan wilayah budaya yang luas (meliputi Jawa Tengah dan Jawa Barat) diantaranya adalah Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, Kedu, Kulonprogo, dan Purwodadi.
Beberapa tempat yang menggunakan nama Galuh diantaranya adalah Rajagaluh (Majalengka), Galuh (Purbalingga), Galuh Timur (Bumiayu), Sirah Galuh (Cilacap), Begaluh (Wonosobo), Samigaluh (Kulonprogo), Sigaluh (Purwodadi), serta Hujunggaluh (Surabaya). Bahkan, terdapat pula nama Watugaluh (Jombang) yang menjadi pusat Kabuyutan Pu Sindok dari Wangsa Isyana, bagian dari subbudaya Kalingga (Medang Kamulan).
Keberadaan Kabuyutan Galuh Purba di kaki gunung Slamet sangat sedikit dijumpai bukti bukti sejarahnya, melainkan hanya diikat oleh satu kebudayaan bahasa Ngapak. Kabuyutan Galuh Purba tersebut ditengara telah melahirkan dua budaya yang berbeda: Kalingga (Medang Kemulan) dan Kawali (Galuh).
Kabuyutan Galuh Purba terus bergeser dan berasimilasi dengan kebudayan yang baru datang di lain tempat. Pada prasasti Bogor disebutkan: Kabuyutan Galuh Purba bergeser ke Kawali, Garut, dan sebagian bergeser ke Kalingga. Dengan kedatangan budaya (H)indu(s), Kabuyutan Galuh Kawali membentuk budaya Kesundaan dengan mendirikan Candi Cangkuang sebagai simbolnya, sementara Kalingga mendirikan cecandian seperti Dieng, Borobudur, Prambanan, Candi Lor, maupun situs Srigading di Malang yang baru ditemukan.
Dengan demikian, melacak kesundaan orang Sunda bisa dikatakan tidak lebih tua daripada budaya Hyang. Terutama, tidak sedikit prasasti prasasti yang menggunakan bahasa Melayu Kuno yang menyertai. Budaya Sunda adalah modern seperti Borobudur dan Prambanan pada masanya. Masing masing memiliki waktu dan tempatnya.