Kalangan sejarawan memberi tesis: kedatangan suku-bangsa yang mendiami Nusantara melalui dua gelombang. Pertama, gelombang Proto-Melayu (Melayu Purba) dari Yunnan, India belakang atau China Selatan, dan kedua, gelombang Deutro-Melayu (Melayu Muda) dari Dongson, Vietnam. Yang pertama membawa budaya Megalitikum (kuburan batu) dan aksara, sementara yang kedua membawa budaya Neolitikum berupa teknologi pengolahan besi, perak, dan emas. Bukit Sulap sebagai istana masa lalu Lubuklinggau merupakan salah satu tempat berdiam suku-bangsa yang datang pertama dengan warisan tinggalan berupa aksara, Proto-Melayu, tersebut.

Aksara Ulu
Dari aspek kesejarahan, Megalitikum dan Neolitikum menandakan suatu era, bukan karya budaya itu sendiri. Megalitikum diawali dari masa 3500 sampai 1000 tahun sebelum Masehi, sementara Neolitikum diawali dari masa 1.000 sebelum Masehi sampai abad ke-5 Masehi. Bukit Sulap sebagai istana masa lalu Lubuklinggau tidak bisa dikatakan mandiri atau hidup sendiri. Setidaknya, memiliki hubungan kekerabatan dengan wilayah di sekitarnya, terutama suku-bangsa Rejang yang mendiami ulu sungai di Pegunungan Bukit Barisan. Dari suku-bangsa Rejang tersebut dikenal Aksara Kaganga atau Aksara Ulu. Karena, lokasi pemakainya bertempat di hulu hulu sungai dari lereng lereng Bukit Barisan. Suku-bangsa yang belum mengenal tradisi India. Pada zaman dahulu, suku suku yang hidup di hulu sungai dianggap lebih tua dan mengembangkan budaya Hyang.
Koreksi atas Sriwijaya
Dalam cerita tutur di masyarakat Lubuklinggau dan sekitarnya sering disebutkan “Bukit Sulap” beserta legenda Puteri Silampari adalah kerajaan bawahan Sriwijaya di Palembang. Dan, seolah Kerajaan Sriwijaya memiliki teritorial yang besar. Padahal, tidak demikian. Sebab, pada awal abad Masehi, kerajaan kerajaan di Nusantara belum begitu mengenal arti teritorial sebagaimana pemahaman negara modern. Yang terjadi adalah sebaran sebaran budaya dan suku-bangsa Kemelayuan. Hal ini dibuktikan dengan prasasti prasasti yang tersebar di Palembang, Bangka, Lampung, termasuk sebagian Jawa. Prasasti Kedukan Bukit sendiri bertarikh sekira abad ke-7 Masehi yang berarti telah terjadi simplikasi sejarah. Sementara budaya Sriwijaya sendiri, asal usulnya belum mendapat sumber yang pasti. Sejarawan masih berkseimpulan, pendiri Sriwijaya berasal dari Minanga.
Dalam cerita tutur Puteri Silampari tersebut, sering pula disebut kisah “Dayang Torek” yang memiliki konotasi seorang pelayan. Dayang menurut kamus moedrn adalah seorang pelayan atau pembantu seorang permaisudri atau puteri raja. Karena cerita tersebut sering ditarik kepada kesejarahan budaya Sriwijaya, maka Dayang Torek pun berkonotasi seorang pelayan puteri raja dari Palembang yang hijrah ke Bukit Sulap. Apakah benar demikian? Nanti dulu.
Sejarah Sriwijaya tidak bisa dipandang dari sudut pemerintahan atas-bawah atau pusat-daerah sebagaimana model pemerintahan modern. Jika dipandang sebagai interaksi dan asimilasi budaya bolehlah. Sebab, kata Dayang Torek tersebut bukan berkonotasi Dayang sebagaimana pemahaman umum belakangan yang sering salah kaprah. Kata Dayang tersebut merujuk kepada satu istilah Melayu Kuno yang berarti “Da(ng) Hyang”. Nenek moyang. Da(ng) sendiri merupakan setara seorang resi (sebelum masa budaya Hindu) sekaligus kepala suku. Sebab, jika diartikan sebagai pelayan permaisuri atau puteri raja, maka akan bertentangan dengan sebuah arca yang ditemukan di Desa Binginjungut, di Sungai Musi. Pada punggung arca tersebut, terdapat aksara yang bertuliskan “Da(ng) Acarya Sutta”. Di samping, budaya Melayu Kuno di Nusantara masih menganut pemujaan terhadap nenek moyang yang masih berbudaya Hyang dan mengenal Aksara Ulu. Maka, tidak heran, jika kemudian kata Pu Hyang (Puyang) masih menjadi ungkapan sehari hari di Sumatera bagian selatan. Dengan kata lain, kata Da(ng) tersebut merujuk kepada penokohan seseorang yang di kemudian hari dikenal sebagai nenek moyang atau Puyang. Dan, bisa jadi Da(yang) Torek yang dimaksud dalam cerita rakyat di keitar Bukit Sulap adalah seorang lelaki (maskulin), bukan seorang puteri sebagaimana dipercaya selama ini.
Memang, batu adalah sarana dan media pada masa lalu dalam menuangkan ide dan gagasan, sebelum mengenal lontar dan kertas. Dengan bahasa dan aksara yang sangat sederhana, ungkapan ungkapan tersebut ditulis di atas batu dan simbol simbol lainnya seperti gajah yang terbuat dari batu di Desa Batugajah. Tidak semua simbol dilambangkan dengan huruf, melainkan dalam bentuk arca arca yang tak beraksara. Kalangan sejarawan belum berani memastikan jika Aksara Kaganga (Aksara Ulu) yang banyak dijumpai di wilayah ulu sebagai hasil dari sebuah entitas budaya yang mandiri. Mereka masih berpendapat, jika Aksara Kaganga adalah pengembangan dari pengaruh budaya Aksara Pallawa. Pun, kepercayaan masyarakat zaman dahulu yang masih menganggap gunung dan hutan sebagai istana yang sakral bagi seorang Hyang atau Pu Hyang. dan, masih sering pula dikotasikan dengan budaya Hindu (Siwa, Wisnu, Brahma, dan Buddha) yang datang belakangan. Dengan melihat Bukit Sulap sebagai istana, maka tidak janggal untuk dikatakan: Bukit Sulap sebagai istana masa lalu Lubuklinggau. Karena, istana zaman dahulu sebelum mengenal teknologi bata masih berlindung di goa goa, gunung gunung, dan tempat tempat yang tinggi. Di samping, orang zaman dahulu masih menggantungkan hidup dari sungai. Di tempat tempat tinggi tersebut, orang orang zaman dahulu mewariskan tinggalan berupa kuburan yang di atasnya ditaruh tumpukan batu. Ada batu besar yang berdiri dan diukir serupa manusia, biasa disebut menhir, atau peti batu yang biasa disebut sarkofagus.