Dalam menelusuri situs situs arkeologis, parasejarawan atau arkeolog tidak pernah berani melangkah dari kerangka berpikir yang sudah ada, bahkan mereka bertanya dengan keterbatasan, “Referensinya mana?” Apalagi di dalam menelisik sastra dan pusat peradaban di Nusantara, kerangka berpikir demikian akan menemukan kejanggalan kejanggalan dengan keterbatasan yang dibuat oleh mereka sendiri.
Sastra dan Sejarah Agama
Kejanggalan yang utama dalam membaca tulisan tulisan sejarah Indonesia atau lebih luas Nusantara adalah tidak bisa lepas dari bias sejarah agama. Setiap tulisan senantiasa menyertai agama apa yang dianut oleh si pelaku sejarah. Misal, Prabu Purnawarman penganut agama apa? Ken Arok atau Danang Sutawijaya dari kalangan darah merah ataukah darah biru? Tentu, pertanyaan pertanyaan ini akan menggiring asumsi kepada kejanggalan kejanggalan berpikir, mengingat ada faktor budaya yang terabaikan. Misal, sebelum manusia Jawa mengenal budaya (H)indu(s) seperti adanya guru guru suci yang didewakan Siwa, Wisnu, Indra, Brahma, atau Buddha, mereka sudah mengenal Sang Hyang, baik dari wujud yang bisa diceritakan seperti sosok Aki Tirem, sungai, laut, gunung, hutan, maupun yang tidak bisa diceritakan.
Maka, selayaknya, sejarah berbicara tentang manusia di tempat ia berada. Bukan karena ide atau agama yang dibawa olehnya. Sebab, bisa saja dia seorang muslim yang taat, namun pada aspek aspek manusiawi dia tidak bisa lepas dari budaya yang mengikatnya. Dengan demikian, sejarah tidak bisa tidak bukanlah copy paste dari sejarah sejarah di lain tempat. Sejarah benar benar mengikat tokoh dan peristiwanya ke dalam ruang dan waktu tertentu. Dengan kata lain, sastra dan pusat peradaban di Nusantara tidak terbelenggu oleh fakta fakta yang sudah ditetapkan oleh peneliti peneliti terdahulu, karena teori teori baru bisa diciptakan. Jika seseorang bertanya, “Dimanakah letak istana Kabuyutan Ujung Kulon?”, maka jawabnya adalah hutan, sungai, gunung, dan laut. Karena, pelaku sejarahnya tidak membutuhkan istana bertembok laksana Colosseum Romawi.
Para Pemburu Candi
Sejarawan dan arkeolog masih sering terjebak pada kategori kategori lama yang sebetulnya tidak lagi berlaku, terutama untuk alam Nusantara. Mereka masih beranggapan: prasasti adalah sumber utama sejarah di Nusantara. Meskipun, pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah, namun tidak akan pernah memberikan kepuasan dalam membongkar sejarah masa lalu. Apalagi untuk merekonstruksi masa depan dengan cara memburu candi candi.
Tanpa disadari, memburu candi adalah sama memburu kuburan bagi umat Islam. Candi adalah tempat perabuan jasad disemayamkan. Namun, kenapa muncul asumsi asumsi: candi adalah pusat peradaban? Dengan begitu, sastra dan pusat peradaban di Nusantara akan selalu merujuk kepada candi atau kuburan, tempat persemayaman terakhir. Tidak perlu berasumsi yang lain lagi, jika persemayaman tersebut bisa saja di laut atau di gunung gunung misalnya.
Kasus Naskah Naskah Kuno
Penelitian terhadap naskah naskah kuno semisal kakawin, babad, serat, dan sejenisnya sering dipandang sebagai sumber kedua di dalam merekonstruksi sejarah masa lalu. Karena, ditulis setelah tokoh dan peristiwanya tiada. Maka, bisa dikatakan tidak otentik lagi. Lalu, apakah prasasti prasasti dan piagam piagam yang ditulis tidak luput dari kesalahan kesalahan akademis?
Kemalasan di dalam merekonstruksi ulang atau setidaknya meneliti ulang adalah pangkal dari kematian sejarah. Tanpa ada upaya pembuktian pembuktian ulang tentu sejarah tidak pernah akan ada untuk ditulis. Sastra yang dianggap cerita cerita bohong masih menjadi problem dalam menangkap tokoh dan peristiwa. Meskipun, kecenderungan itu tetap ada peluang dan mesti bisa terjadi.
Naskah Wangsakerta yang ditulis pada 1677 sampai 1698 oleh kalangan Keraton Cirebon telah dianggap sebagai naskah palsu, tidak otentik karena ditulis oleh sebuah tim. Begitu pula, Negarakrtagama dan Pararaton dianggap dianggap tidak representatif dalam merekonstruksi sejarah Jawa. Baiklah, dalam penulisan naskah naskah tersebut terdapat kekeliruan dan terjadi perbedaan dalam beberapa versi. Pun, kepentingan kepentingan bagi parapernulisnya. Lantas, apakah keliru jika sebelumnya parapenulis itu telah melakukan investigasi? Yang keliru, penulisnya ataukah datanya? Bukankah sebuah karya ilmiah hanya berbentuk kesimpulan sementara yang bisa direvisi kembali?
Sebetulnya, bukan persoalan naskah naskah itu ditulis dengan sengaja berbohong atau tidak. Tapi, yang jelas adalah karena kemalasan kemalasan dalam melakukan investigasi dan rekonstruksi ulang. Kebenaran referensif tidak bisa dipandang sebagai kebenaran mutlak, toh buku tentang “Sejarah Sumatera” yang ditulis oleh William Marsden (1754-1836) tetap dianggap otentik walau sejatinya William menulisnya dengan melakukan perjalanan investigatif dan tanpa melihat referensi.
Di masa digital saat ini, ada banyak akun website atau media sosial lainnya yang meliput peristiwa secara lebih otentik di lapangan. Meskipun, tidak mengikuti aturan baku jurnalistik maupun ilmiah, namun liputan secara langsung tersebut jauh lebih otentik daripada tulisan secara referensial yang tidak diperiksa lagi kondisi kondisi lapangannya. Dan, ini banyak terjadi.