Belajar kisah dan sejarah nabi nabi tidak salah. Belajar kisah khalifah empat dan raja raja setelahnya juga tidak salah. Namun, salah jika tidak diimbangi dengan belajar ilmu sejarahnya. Oleh karena itu, sudah saatnya santri dibekali historiografi yang cukup.
Untuk Apa Belajar Historiografi
Yang pertama dan utama, sejarah adalah kita. Kita adalah sejarah itu. Pohon itu. Historiografi hanyalah pelengkap. Teks mati yang dihidupkan. Namun, sejarah sesungguhnya adalah kita. Kedirian kita sebagai manusia yang berbangsa bangsa.
Historiografi yang dikembangkan di perguruan perguruan tinggi kadang belum memenuhi hakikat dan selera sejarah. Orang Indonesia memilih kata “sejarah” lebih lengkap tentang hakikat kedirian dan kemanusiaan. Bandaingkan dengan istilah yang digunakan di Inggris umpamanya sebagai “histori”, diambil dari kata “he stories” atau “his stories”. Begitu pula, di dunia Arab menyebutnya “Al Tarikh” yang berarti tanggal atau penaggalan. Orang Indonesia menyebutnya dengan istilah berbeda, sejarah yang berarti pohon. Pohon berarti ada tanahnya, akarnya, batangnya, rantingnya, daun daunnya, dan buah buahnya. Lebih lengkap dari istilah histori atau tarikh.
Untuk menutur sejarah tentu diperlukan histori, teks yang berbicara atau alat alat lain yang dianggap bisa berbicara seperti artefak, candi candi, tulisan tulisan, bahkan tutur kata lisan (cerita rakyat). Historiografi adalah alat dan perangkat yang dapat menghadirkan sejarah secara ilmu. Dengan kata lain, tidak salah, jika sudah saatnya santri dibekali historiografi yang cukup. Sehingga kaum santri dapat mengenali ciri ciri dan sumber sumber sejarah dengan baik.
Macam Macam Historiografi
Secara garis besar, historiografi dapat dibagi menjadi dua: tertulis dan lisan. Meskipun, dipandang otentik keduanya tentu tidak terlepas dari hasil rekayasa, minimal rekaya keadaan yang menghadirkan situasi tertentu. Surat seseorang yang ditulis pada sebuah surat cinta untuk kekasihnya bisa dianggap sebagai bukti sejarah. Ada seseorang yang bernama “A” dan kekasihnya bernama “B” sebagai aktor sejarah. Adapun persoalan “wacana” atau bahan dan topik pembicaraan di antara keduanya adalah sesuatu yang lain. Namun, dapat ditegaskan si A pernah menulis surat kepada si B pada tanggal dan waktu tertentu yang dibuktikan kesejarahannya dengan selembar surat. Begitu pula, selanjutnya, seorang raja mengeluarkan satu keputusan hukum beserta narasi narasi yang kemudian dikembangkan di masyarakat adalah bukti sejarah pernah ada di sebuah istana. Meskipun, pada aspek berbeda muncul kontranarasi dari cerita cerita yang dibangun di luar istana. Cerita cerita yang menggambarkan situasi ril sebuah kondisi sosial di luar istana yang tidak jarang bisa saja bertentangan antara satu dengan yang lain. Cerita tutur atau lisan menjadi rumor alternatif bagi sebuah kisah sejarah.
Sudah saatnya santri dibekali historiografi yang cukup. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengutip McLuhan berpendapat; prosesi “Haul” yang diselenggarakan di makam Sunan Bonang setiap tahun diikuti secara partisipatif dan suka rela tanpa ada yang mengomando. Tradisi turun temurun yang diselenggarakan setiap tahun sebagai bukti sejarah. Di sini, historiografi tidak cukup dipandang dari aspek tertulis saja, melainkan tradisi tradisi yang hidup di masyarakat secara turun temurun. Seorang santri dapat saja dia mendedikasikan dirinya untuk menulis sejarah tentang pesantrennya, kiai kiainya, sahabat sepemondokan, dan lingkungan sosial yang hidup di sekitar pesantren. Itu sudah menjadi bukti sejarah yang hidup dan berjalan.