Ada banyak pengistilahan kata tentang sastra yang rancu, tanpa melihat pijakan makna awalnya. Sehingga memunculkan definisi definisi yang tidak jarang jauh dari makna awal. Secara etimologi, kata “sastra” diambil dari bahasa Sansekerta, Shaas(h) berarti pesan, informasi, instruksi, atau pedoman, sementara “tra” berarti alat. Secara leksikal, sastra berarti alat penyampai pesan, informasi, instruksi, atau pedoman. Proyek proyek melatinkan karya karya sastra di Indonesia agar menjadi sebuah disiplin ilmu, maka dibuatlah kritik, teori, ulasan, parameter, klasifikasi, verifikasi, dan sejarah secara khusus.
Kata sastra sendiri mulai populer digunakan dalam makna yang umum dan beragam setelah dikenalkan oleh A. Teeuw (1921-2012). Dalam bukunya, Sastra dan Teori Sastra (2017, terbit pertama 1984), kata padanan untuk sastra yang tepat digunakan di Eropa adalah budaya Belles lettres, berupa manuskrip atau cetakan. A. Teeuw menyebut beberapa istilah ketika menjelaskan konsep sastra di beberapa tempat seperti Literature (Inggris), Literatur (Jerman), Litterature (Perancis). Istilah tersebut setelah ditelusuri berasal dari kata Litteratura (Latin). Sementara Litteratura berasal dari grammatika; litteratura dan grammatika yang masing masing merujuk pada kata littera dan gramma yang berarti huruf (tulisan; letter).
Namun demikian, jika menelisik pemaknaan sastra menurut A. Teeuw tersebut terdapat proses yang masih janggal alias masih ditelan mentah mentah. Sehingga proyek proyek melatinkan karya karya sastra di Indonesia memang benar menjadi semacam proyek pelatinan (Latinisasi) sastra sastra yang sudah ada seperti Sastra Pegon, Sastra Kaganga, Sastra Kawi, dan sastra sastra yang digunakan secara umum di Indonesia. Proyek proyek melatinkan karya karya sastra di Indonesia ini bisa dipandang berhasil ketika mampu mereformasi diri nilai nilai kebangsaan Indonesia melalui Sumpah Pemuda manakala bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa persatuan. Hanya saja, perkembangan Sastra Indonesia tersebut baru sebatas upaya pelatinan aksara dan angka. Belum menyentuh pada proyek kemanusiaan Indonesia. Maka, wajar, jika kemudian Proyek proyek melatinkan karya karya sastra di Indonesia masih berada pada level sastra partisan sehingga muncul istilah istilah sastra tinggi, sastra rendah, sastra picisan, sastra sufi, sastra pesantren, sastra pinggiran, dan seterusnya. Sementara proses Belles-letter sendiri sebagaimana yang diinginkan dalam pengertian A. Teeuw masih mengenyampingkan sastra sastra yang ada, yang masih digunakan di masyarakat Indonesia seperti Pegon di pesantren pesantren atau Aksara Kawi yang masih digunakan di istana istana kerajaan Jawa. Dengan demikian, proyek kesetaraan sastra nyaris tidak tersentuh dalam proyek proyek pelatinan sastra pada Sastra Indonesia.
Buku ini mengungkap problem problem yang acap muncul dalam polemik sastra di Indonesia seperti periodesasi sastra, sastra tinggi dan sastra rendah, sastra kiri dan sastra kanan, hingga jalan seorang sastrawan di dalam menemukan otentikasi kediriannya.
Judul : Bukan Sebuah Karya Sastra
Penulis : Bagus Dilla
Ilustrasi cover : Yudiantono
No. ISBN : 9786025176639
Penerbit : Alfa Media Insani
Tahun terbit : 2023
Halaman : xxi + 215
Kategori : Bahasa-Sastra
Text : Bahasa Indonesia