“Gunakan waktu sekolah untuk belajar,” ucap salah satu guru saya ketika pidato di upacara hari Senin waktu itu. Saat bolos, saya selalu berpikir akan ucapan bernada nasehat itu. Oh, iya, saat bolos, saya tidak pernah mengajak teman dan selalu sendirian, ”Introvert!” ucap teman. Ya, inilah saya yang tidak memiliki banyak teman di sekolah.
Saya terkadang merasa tidak betah belajar di sekolah. Justru, saat bolos, saya malah giat belajar, banyak hal yang aku pelajari. Saat akan bolos, saya selalu menyempatkan waktu untuk meminjam buku di perpustakan daerah, Perpustakan Sumber. Bahkan, saya sampai hafal betul dengan tukang jaga Perpus.
Das Kapital, Madilog, Atomic Habits, Bicara Itu Ada Seninya, Fihi Ma Fihi, dan Dunia Sopie. Itu sebagian kecil buku buku yang pernah saya pelajari ketika bolos. Tapi, tak semua saya dapatkan di Perpus Sumber. Setidaknya, buku buku inilah yang saya katakan sebagai awal pengubah caraku memandang kehidupan dan alam semesta.
Bolos sekolah kok belajar? Mungkin, ini agak aneh tapi kisahku memang sebuah true story. Orang lain bisa saja berkata ini “gak umum”, tapi saya tidak mengambil pusing dengan kata itu. Maka, tak ayal, atas tindakan dan aktivitas di sekolah itu, saya pun sering sekali masuk ke ruang BK mendapatkan SP (surat peringatan) gara gara sering membolos. Tapi, surat itu tidak pernah jatuh ke tangan orangtua saya.
Dari pagi, otomatis, pakaian yang saya kenakan masih seragam sekolah. Tetapi, tenang saja, saya sudah melepas atribut dan simbol sekolah. Sebenarnya, dalam hati yang terdalam, saya tidak ingin mengecewekan almamater. Saya juga tidak ingin mengecewakan orangtua. Ketahuilah! Inilah cara saya belajar dan dalam tulisan ini saya meminta maaf kepada almamater dan kedua orangtua.
Saya sadar kalau dahulu sering egois. Saya lebih memilih cara untuk belajar ketimbang cara yang memang umum dilakukan oleh siswa siswa lain.
“Ketika segalanya terkesan tidak ada gunanya saya sengaja menyaksikan tukang batu mengayunkan martil ke sebongkah batu cadas, mungkin sampai 100 kali tanpa menghasilkan satu retakanpun pada cadas itu, namun pada hamtaman yang ke 101 kali cadas itu terbelah menjadi 2, dan saya tahu bukan hantaman terakhir yang menyebabkannya, melainkan semua hantaman yang dilakukan sebelumnya.”
Itu adalah kutipan dari buku Atomic Habits. Buku yang telah saya baca. Kutipan tersebut berhasil mengubah cara pandang saya dan dari kalimat tersebut saya belajar bahwa terkadang kita merasa usaha yang kita kerahkan selama ini sia sia, tidak ada hasilnya dan tidak ada manfaatnya. Padahal, perubahan itu butuh waktu. Butuh satu momentum yang pada akhirnya menunjukan bahwa usaha yang kita lakukan selama ini tidak sia sia. Namun, untuk sampai pada momentum tersebut memang diperlukan ratusan, ribuan, atau bahkan jutaan percobaan, latihan, dan kegagalan. Dan, pertanyaannya, apakah kita sudah cukup sabar untuk menunggu momentum tersebut, karena mereka yang sabarlah yang pada akhirnya sampai pada tujuan dan kesuksesan?
Saya sudah terlanjur jatuh cinta pada buku Atomic Habits. Bagi saya, buku yang ditulis oleh James Clear itu telah banyak sekali mengubah pola hidup saya berikutnya.
***
Banyak hal yang telah saya pelajari saat itu. Semuanya telah mengubah cara saya memandang kehidupan. Perlahan, saya yang semula seorang introvert, mulai terbuka dan bisa menerima orang lain. Saya yang dulu tergolong pemalas, mulai berpikir: one day 0,001 percent progress.
Barangkali, RA. Kartini dulu pernah menulis Habis Gelap Terbitlah Terang, sementara kata kata itu adalah cerminan dari diri dan kehidupan yang bisa dikatakan sebagai masa yang suram.
Battembat, 21 April 2024.