Puisi Rara Gendis Danerek
“Nanti, kamu turun di Stasiun Citayam, terus naik angkot, turun di Pondok Terong. Di sebarang pasar, ada Jalan K.H. Abdurrahman. Kamu ikuti jalan itu atau naik ojek. Lumayan jauh. Nanti, kamu ketemu jalan menurun. Perhatikan alamatnya!”
Memang, jalan itu lumayan jauh dan menyita. Tapi, pertemuan hanyalah “sessions” yang tidak pernah direncanakan. Dan, pertemuan itu untuk yang kedua kali setelah pertemuan pertama di Balai Budaya Cak Durasim di Surabaya. Di Surabaya, ia tiba tiba muncul dengan kegembiraan untuk menyaksikan awal yang baik. Surprise!
Di rumah kecil, di turunan, yang asri. Tersusun tanaman bunga, terong, pisang, dan jambu klutuk di halaman yang berukuran tidak besar sekira 4 x 5 meter. Di dalam rumah, tersusun pula buku buku susastra dan kain kain tenunan. Teriana Yantie Rahim. Nama asli yang diketahui setelah wafat. Lahir di Cempaka Putih, Jakarta, 8 Januari 1974. Orang orang mengenalnya dengan nama pena Rara Gendis, kadang digandeng nama marga suaminya, Rara Danerek. Tubuhnya mungil, meskipun jauh dari kata tengil. Dia sosok pembelajar dan sportif.
Dalam usia paruh baya menjelang 50an, ia menyebut demikian, masih aktif membangun komunikasi ke berbagai pihak yang sudah dijalinnya sejak lama. Mulai dari teman sekolah, teman seniman, teman usaha, hingga mertuanya di Swedia. Cita citanya membangun komunitas lansia yang produktif. Ia membaca, meriset, mengunjungi tempat tempat tertentu seperti panti asuhan dan kampus lansia. Setelahnya, ia membuka ruang dialog dan diskusi. Tidak malu malu, ia terus bertanya dan kadang merasa jengkel karena diacuhkan oleh suaminya. Ia mendapat “support” penuh, meskipun seolah tidak mendapat dukungan orang terdekat. Hubungan dialektis suami istri yang unik dan lucu.
Rara Gendis dikenal banyak kalangan karena jiwa humanisnya yang memikat. Kalau ada keterikatan dengannya sudah bisa ditebak karena hubungan itu.
Sejak muda dan menjalani pendidikan, ia sudah terbiasa hidup mandiri. Tinggal di kontrakan, meskipun ayahnya memiliki rumah yang cukup untuk mendidiknya secara langsung. Berbagai cara, ia melakukan hal yang dapat membuatnya bertahan. Mulai dari menjual buku hingga mencari objek dagangan yang menghasilkan. Sosok ayahnya yang mantan tentara sudah menempa dirinya untuk tidak mudah rapuh dan mampu bertahan di tengah kesulitan. Kendati, ia sangat preventif dalam pergaulan. Ia bebas menjalani hidup yang bertanggung jawab. Tidak pernah terpengaruh pada pergaulan negatif walaupun sering jatuh pada nadir terendah. Ia tumbuh kuat seperti ayahnya.
“Rara mcm putus syaraf inti. Tadi mlm kami msh gunting kain bersama dan dia bercanda. Tak Rasa apa2.
Tidak ada jatuh atau kejadian khusus.
My love. Better than I.”
Pesan suaminya terseranta pada tengah malam. Rara mengidap semacam bukan penyakit. “Aku bisa tegang dan kaku tiba tiba. Pernah, aku merasakan tubuhku kaku ketika naik KRL. Aku perlu duduk normal, mengambil nafas, dan mengulum permen. Tidak ada orang yang tahu kondisiku, kecuali aku benar benar jatuh pingsan,” ceritanya.
Dan, perjalanan itu menemui titik demi titik. Titik ketika berjuang menyelesaikan sekolah dan kuliah. Titik ketika ditinggal orang yang dikasihi dan mengasihinya. Titik ia harus mengambil kursus di Singapura lalu menjadi perawat rumah sakit di Eropa. Dalam paruh waktu, ia bekerja di perpustakaan di Swedia.
“Aku melintasi stasiun Kebumen, maaf tidak bisa mampir!” pesannya melalui seranta WA tengah malam ketika akan menghadiri undangan di Yogya.
Berkat kemandirian itu, ia dipercaya penuh oleh suaminya untuk bergaul dan melakukan apapun yang disenanginya. Dan, ia mulai merealisasikan ide idenya yang sudah tersusun bersama teman teman di dalam komunitasnya.
Ada keraguan untuk memulai. Ia mulai merangkai ingatan ketika masih aktif di Pasar Senen. Ia dekat dengan Sutardji dan sudah seperti ayahnya sendiri. Ia acap menenteng buku harian dan meninggalkan catatan catatan yang ditulis dengan tangan mungilnya. Dari situ, ia mulai mengenal Puisi dan menjalaninya.
Baginya, puisi seperti talu zikir yang dilantunkan secara terus menerus. “Setiap tarikan nafasku adalah puisi,” nyatanya. Dan, keraguan itu menghebat ketika puisi harus dinyatakan. Sebab, ada orang dan tidak sedikit orang yang mampu melantunkan puisi tapi tidak pernah dinyatakan secara verbal atau bahkan tertulis di dalam sebuah antologi. Kalaupun ia berhasil membuat sebuah buku kumpulan puisi bersama koleganya, itu buku pertama dan terakhir yang berhasil ia terbitkan dari serangkaian acara dan puisi yang sudah ia agendakan untuk beberapa “event”.
Rara tidak pernah mengenal kata menyerah. Ia selalu tersenyum dan berhenti berbicara ketika ada orang yang coba mendebatnya. Ia akan diam ketika topik sudah tidak nyambung. Ia tidak ingin menjadi beban ketika banyak orang menggantungkan harapan padanya.
“Oh Gusti, kalau nanti aku berangkat pulang
luapan tangis kesedihan jangan memberatkan kepergian
ringankan langkahku berkat doa dan amalan
harum ronce kenanga yang menyelimuti
biar jadi kenangan perpisahan
pancarkan cahya-Mu
pada wajah duka mereka yang kutinggalkan”
Batembat, 23 April 2024.