Sejarah bukan yang tertulis. Sejarah adalah tentang yang hidup. Tentang dia, tentang saya, dan tentang mereka. Namun, sejarah dalam artian historiografi adalah artefak, situs, skrip, dan manuskrip. Yang pertama, sejarah subjektif, dan yang kedua, sejarah objektif. Objek. Subjek pelaku dan objek pelaku, sekaligus penderita. Dalam artian subjek dan objek ini, sejarah adalah pelaku puzzle dan puzzle itu sendiri.
Sejarah NU (Nahdlatul Ulama) selain terdiri dari pelaku puzzle dan puzzle, juga terdapat lapisan lapisan yang sering disebut tradisi. Maka tidak heran, jika kemudian NU dinamakan organisasi tradisional. Namun demikian, dalam kurun waktu tertentu pelaku puzzle dan puzzle tidak berubah secara regeneratif. Sehingga pengulangan pengulangan peristiwa, kejadian, wacana sering terjadi.
Pada lapisan genealogi intelektual, NU mewariskan tradisi Mazhab Syafi’i yang sudah hidup di nadi kehidupan masyarakat Nusantara. Ada dan tidak adanya NU sebagai organisasi, tradisi masyarakat Nusantara bermazhab Syafi’i. Begitu pula, dalam bidang tasawuf dan tarekat. Maka, tidak heran, jika kemudian Buya Syafi’i Ma’arif menyebut NU lebih tua daripada Muhammadiyah dari aspek tradisi ini.
Dari aspek pengaruh global, tradisi dan kehidupan sosial masyarakat Nusantara yang memeluk agama Islam tidak terlepas dari episentrum geopolitik Timur Tengah, terutama Mekah, Baghdad, dan Mesir. Kemunculan organisasi NU dipicu adanya polemik dan konflik politik di Hijaz, sehingga muncul ide Komite Hijaz yang dikomandani oleh K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Meskipun, kemunculan Komite Hijaz tersebut jauh sebelumnya sudah diawali dari polemik khilafiyah melalui majelis diskusi “Tashwirul Afkar”. Berbicara Tashwirul Afkar, maka tidak bisa mengabaikan peran Haji Mas Manshur dan A. Hassan Bandung yang pernah terlibat di dalamnya.
Dengan demikian, sejarah NU telah melalui proses ikhtiar dan istikharah yang sangat panjang. Belum lagi, ketika NU sudah dideklarasikan, langkah langkah konsolidasi dilakukan secara massif dari pesantren ke pesantren untuk menyatukan visi dengan melaksanakan muktamar setiap tahun. Setiap tahun dilakukan gerakan (harakah) secara nasional, meskipun baru meliputi pulau Jawa dan Madura. Serta, daerah daerah yang memiliki kesadaran dan respon cepat seperti Banjarmasin dan Palembang. Muktamar NU yang diselenggarakan setahun sekali tersebut merupakan upaya upaya ulama Nusantara mengumpulkan puzzle puzzle sejarah yang terserak.