Menarik jejak petualang Manusia Sumatera coba dianalisis dengan memanusiakan jejak jejak sejarah Sriwijaya dalam tulisan ini.
Para sejarawan sering menulis menurut prasasti ini dan prasasti itu adalah yang paling otentik secara arkeologis tentang sebuah sejarah. Sementara mitologi, penulisan naskah, membuka hutan, menata lingkungan, dan jejak antropologi tidak masuk dalam kategori sejarah. Karena, alasan tidak arkeologis tersebut. Pun, sering menjadi bahasan serius ketika berbicara tentang kerajaan pertama di Nusantara dari sudut arkeologis pula. Dengan kata lain, tidak ada sejarah jika tidak ada prasasti atau candi sebagai jejak dan bukti arkeologis.
Sejarah Sriwijaya untuk pertama kali direkonstruksi oleh seorang sarjana Prancis, George Coedes, setelah menemukan situs Kedukan Bukit di Kota Palembang. Setelah rekonstruksi sejarah tersebut kemudian bermunculan teori teori untuk memperkuat keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah keraajan. Hanya saja, karena begitu banyak warisan tinggalan budaya berupa prasasti dan cecandian akhirnya Sriwijaya menjadi ajang kepentingan tarik menarik klaim, baik dari dalam negeri seperti Palembang, Jambi, dan Mataram, maupun luar negeri seperti Vietnam dan Thailand.
Menurut versi Arkeologis
Modifikasi sejarah agama dan kedaratan (kontinentalisme) sering mengiringi sebuah penulisan sejarah. Sehingga mengaburkan eksistensi sejarah itu sendiri yang pada dasarnya kembali kepada manusia sebagai pelakunya. Begitu pula, ingatan bawah sadar penulis penulis dari Eropa tentang konsep kedaratan sebagaimana suku-bangsa Eropa akan mengunggulkan sejarah Romawi yang berlaku urut dan sistematis. Begitu pula, India, China, Persia, dan Arab yang akan mengunggulkan konsep “kemandalaan” (negara bawahan atau negara taklukan) untuk berdirinya sebuah kemaharajaan. Dengan kata lain, bagaimana seorang raja Tarumanegara yang mengklaim sebagai penguasa tunggal wilayah “Sunda”, sementara konsep kesundaan masih bertentangan dengan konsep Galuh misalnya. Demikian pula, klaim Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan besar pada abad ke-7 hingga ke-12 Masehi pada masa setelah rekontruksi Coedes tersebut. Sebaliknya, apakah Sriwijaya akan hadir seperti pada pemahaman sejarah sekarang, jika tidak pernah ada Coedes yang merekonstruksinya? Artinya, rekayasa konstruksi sejarah peluangnya masih tetap ada.
Pendiri Kerajaan Sriwijaya menurut tafsir Prasasti Talang Tuo adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Dalam prasasti disebut “Jayanaga”.
Sriwijaya digambarkan sebagai sebuah kerajaan besar yang terletak di Sumatera. Kehadiran kerajaan ini dianggap sangat berpengaruh pada perkembangan sejarah Asia Tenggara yang yang membentang dari Sumatera, Kepulauan Riau, Bangka-Belitung, Singapura, Tanah Genting Kra (Thailand dan Malaysia), Kamboja, Vietnam Selatan, Kalimantan, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Rekonstruksi awal sejarah Sriwijaya melalui catatan seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, yang menceritakan tentang kunjungannya ke Sriwijaya pada 671 Masehi. Keberadaan Sriwijaya dikuatkan oleh Prasasti Kedukan Bukit yang bertarikh 682 Masehi.
Sebelum Coedes menemukan Prasasti Talang Tuo pada 1918, tidak ada pembahasan mengenai Sriwijaya. Coedes melalui prublikasinya menyatakan San Fo Tsi, Sribhoja, dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Purba merujuk kepada satu kerajaan yang sama, Sriwijaya. Sejak itu, beberapa prasasti yang ditemukan, baik di kota Palembang, Pulau Bangka, Lampung, hingga Pekalongan diterjemahkan sebagai Sriwijaya. Di samping, beberapa legenda yang melekat pada Maharaja Javaka dan Raja Khmer yang memberikan sekilas keterangan.
Beberapa artefak temuan Balai Arkeologi Palembang berupa bangkai perahu, tembikar, dan keramik juga dikaitkan dengan konotasi Sriwijaya ini. Dengan kata lain, di dalam benak penulis sejarah sudah tergambar kata Sriwijaya beserta pernak pernik aksesoris dari penganut Buddha. Belakangan, Candi Buddha di Muaratakus, Jambi, pun diklaim sebagai Sriwijaya.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa
Kesejarahan Manusia Melayu masih jarang disinggung dalam penulisan sejarah Sriwijaya. Bahkan, dalam satu narasi disebutkan Sriwijaya runtuh dan digantikan oleh Kerajaan Melayu Dharmasraya di Jambi. Tanpa mengesampingkan peranan penganut Buddha yang tersebar di Sumatera dan Jawa, melihat sejarah dari sejarah kemanusiaan memang jarang dilakukan sehingga konotasi muncul dari bangunan banguna peninggalan. Padahal, dalam satu fragmen, orang orang Khmer menyebut Sriwijaya demikian sebagai Melayu.
Budaya Hindu (Siwa, Wisnu, Brahma, dan Buddha) memang cukup mewarnai sejarah pasca Melayu Purba (Proto-Melayu). di Sumatera Selatan sendiri banyak nama tempat yang melekat dengan sejarah agama seperti Desa Biaro (vihara) di Kabupaten Musirawas Utara, Desa Pelawe dan Kabupaten Pali yang berkonotasi dengan bahasa Pallawa dan Pali. Namun, kejayaan suku-bangsa Melayu Kuno tidak bisa lepas antara manusia, sungai, dan gunung.
Memang, kebudayaan Proto-Melayu dan Deutro-Melayu di Nusantara hampir tak terlihat batasnya. Kebudayaan Hindu lebih tampak dominan di dalam mengisi ruang sejarah. Apalagi setelah dipukul rata ke dalam konsep hegemonik. Padahal, terdapat varian varian ragam yang menarik jika mampu ditelusuri satu per satu. Pada Prasasti Talang Tuo berikut, aksara yang digunakan adalah bentuk Pallawa, tapi menggunakan bahasa tutur Melayu Kuno. Telusuran, Manusia Melayu sering berhenti pada agama yang dianut oleh Dapunta Hyang Jayanaga. Sementara asal usulnya menjadi misteri. Sejarawan mengasumsikan ia datang dari wilayah Sumatera Tengah, Minanga Tamwan.
/śwasti . śri śaka warṣa titā . 606 . diŋ dwitiya ṣuklapakṣa wulan caitra . sāna tatkālāña parlak śri kṣetra ini . niparwuat
parwaṇḍa punta hiyaŋ śrī jayanāga . ini priṇadhānāṇḍa punta hiyaŋ . sawañakña yaŋ nitanaŋ di sini . ñīyur pinaŋ hanāu . rumwiya . dṅan samigra . ña yaŋ kāyu nimakan wuaḥña . tathapi hāur wuluḥ pattuŋ ityewamādi;
Terjemah George Coedes; pada tanggal 23 Maret 684 Masehi, pada saat itulah taman ini yang dinamakan Śrīksetra dibuat di bawah pimpinan Sri Baginda Śrī Jayanāśa. Inilah niat baginda: Semoga yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu, dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan, demikian pula aur, buluh, betung, dan sebagainya;
Jika tidak dipahami sebagai sejarah agama semata, maka pokok bahasan sejarah manusia dan asal usulnya sangat menarik untuk memanusiakan jejak jejak sejarah Sriwijaya. Bahwa, Dapunta adalah orang Sumatera asli dengan bahasa Melayu Kuno yang dipakainya. Bukan suku-bangsa datangan dengan budaya baru.