Dokumentasi hadis Rasulullah Saw bermula di Madinah ketika kitab Al Muwattha lahir dari tangan Imam Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki. Sebagian penulis muslim menyebut corak berpikir Mazhab Maliki beraliran tradisionalis, karena merujuk kepada tradisi Rasulullah Saw. Sementara sebagian lagi menyebut Mazhab Hanafi bercorak rasionalis, karena mengunggulkan akal. Di dunia akademis kaum muslimin, corak corak demikian memang membingungkan dan ambigu. Karena, pada dasarnya, masing masing memiliki corak corak demikian antara rasionalis, tradisionalis, dan literalis. Hanya dominasi dari salah satu corak tersebut yang menyebabkan ketiganya berbeda. Oleh karena itu, perlu diungkapkan perjalanan Mazhab Maliki: Dari Madinah, Damaskus, hingga ke Cordova.
Hukum Islam ataukah Hukum Zaman?
Perjalanan Mazhab Maliki: Dari Madinah, Damaskus, hingga ke Cordova memang menarik untuk melihat realitas zaman. Terutama, pada aspek hukum. Karena, umat Islam untuk pertama kali mendasarkan diri kepada hukum ini.
Mengutip dari Ibnu Rusyd, Moh. Abed Al Jabiri, filosof Maroko, melihat corak utama dari Mazhab Cordova (Maghrib) adalah memutus tali epistemologi. Epistemologi yang dimaksudkan oleh Al Jabiri tersebut adalah konsep berpikir manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Melihat sumber sumber ilmu tersebut muncul menjadi satu kesatuan yang utuh.
Hal ini menelaah dari hijrah Rasulullah Saw ke Madinah. Kalangan literalis sering melupakan akses historis yang terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw. Kalangan literalis ini sering menyebutkan kalau aspek pengetahuan (epistemik) Rasulullah Saw berasal dari malaikat Jibril As dan langsung kontak kepada Allah.
Pendapat ini tidak salah seluruhnya, karena memang demikian adanya. Hanya saja, proses transmisi keilmuan tersebut sering abai pada aspek historis seolah tidak pernah membumi.
Di Madinah, Rasulullah Saw coba memutuskan tali sanadnya ke Mekah. Dan, itu memang pilihan historis. Walaupun kenyataannya kemudian, sanad (transmisi) Mekah tersebut menjadi salah satu unsur dari epistemologi Rasulullah Saw di Madinah. Di Madinah, Rasulullah Saw tidak mengabaikan epistemologi epistemologi yang lain, seperti Yahudi, Nasrani, Persia, dan Arab sendiri. Oleh karena itu, muncul perikatan perikatan transmisi melalui baiat (Al Aqabah) sebagai bentuk sanad yang masih berlaku. Di samping, ada pula kontrak sosial berupa aqad yang kemudian dikenal dengan sebutan Piagam Madinah. Piagam Madinah (yang tidak satu) ini merupakan perikatan perikatan rasional yang dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap penduduk Madinah, yang kemudian menjadi dasar Mazhab Maliki.
Marwan bin Hakam
Memang, faktor kesejarahan atau historisitas Rasulullah Saw jarang dibuka secara gamblang dan mudah dicerna oleh umat Islam sendiri. Jika Rasulullah Saw adalah juga makhluk historis (basyariah).
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَىٰٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَٰحِدٌ ۖ فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
Katakanlah, Aku ini sungguh hanya manusia biasa seperti kalian yang diberikan wahyu kepadaku. Sungguh Tuhan kalian adalah Satu. Maka, orang orang yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal saleh dan janganlah ia mempersekutukan di dalam ibadahnya kepada Tuhannya sesuatu pun. (Surat Al-Kahfi ayat 110).
Pada praktiknya, perikatan perikatan aqad tersebut merupakan hukum zaman yang mengharuskan adanya kontrak sosial. Dikatakan hukum zaman, karena memang bukan satu satunya dalam sejarah. Untuk ditarik lebih jauh ke belakang sebelum masa Rasulullah Saw, aqad perikatan (konstitusi) tersebut pernah terjadi dan ada. Begitu pula, pada kasus kasus seperti hukum hadd di dalam Al Quran yang sering disebut sebagai “hukum Islam” oleh umat Islam. Hukum hadd (hukuman badan) memiliki rentang ruang dan waktunya sendiri sebagai produk zaman. Di dalam sejarah Romawi, China, Persia, bahkan di Pulau Jawa, hukuman badan tersebut menjadi ciri zaman. Dengan kata lain, peristiwa peristiwa pemenggalan kepala oleh algojo, penyaliban, potong tangan dan kaki, bahkan hukum “picis” di Jawa adalah produk zaman.
Perjalanan Mazhab Maliki: Dari Madinah, Damaskus, hingga ke Cordova diawali dari Marwan bin Hakam sebagai Wali Negeri Madinah sejak masa Khalifah Sayiduna Umar bin Al Khattab. Setelah Daulah Umaiyah berdiri di Damaskus (eks pusat Kekaisaran Romawi Timur, Bizantium), sedikit banyak, Marwan bin Hakam melakukan “reformasi birokrasi”. Mazhab Maliki pun berkembang di Damaskus.
Perkembangan Mazhab Maliki kian ke Barat sejalan dengan pengaruh Damaskus yang kian kuat dengan menguasai Laut Mediterania. Namun, perkembangan sejarah tidak semata dilakukan oleh orang orang suku-bangsa Arab. Nama nama seperti Thariq bin Ziyad, Ibnu Khuldun, dan Ibnu Batuthah adalah di antara nama nama orang orang Amazigh dari suku-bangsa Afrika Utara yang mengembangkan pola dan metode keilmuan secara historis. Melihat objek yang hadir kini dan di sini.
Selama tujuh setengah abad, Mazhab Maliki menjadi corak berpikir Mazhab Maghribi (Barat) menurut polarisasi kalangan sejarawan di Andalusia yang berpusat di Cordova. Selama rentang masa dan tempat yang cukup lama tersebut, semangat rasionalisme tertanam ke dalam sendi sendir peradaban dan masyarakat. Meskipun, akhirnya kaum muslimin “terusir”, namun bukan berarti benih benih peradaban tersebut mati begitu saja. Benih benih yang turut menumbuhkan dan menyuburkan peradaban Eropa selanjutnya dengan aktor aktor yang berbeda. Ilmu ilmu eksakta seperti matematika, astronomi, kimia, dan filsafat berdiri dan berkembang secara mandiri.