Satu suku-bangsa sudah dianggap maju apabila memiliki aksara sendiri. Tidak semua suku-bangsa yang ada di Nusantara memiliki aksara sendiri. Meskipun, memiliki warisan tinggalan bukti bukti arkeologis lebih tua usianya. Misal, lebih maju manakah antara Suku Rejang di sekitar Gunung Kaba dengan Suku Pasemah yang tinggal di sekitar Gunung Dempo? Tentu, jawabnya bisa lebih maju Suku Rejang karena sudah memiliki aksara sendiri, Kaganga. Di samping, dialek bahasa Rejang jauh lebih sulit diucapkan daripada bahasa bahasa di sekitarnya seperti bahasa Musi. Namun, jika ditanya lebih tua manakah antara Suku Rejang dan Suku Pasemah? Maka, jawabnya bisa Suku Pasemah lebih tua karena memiliki warisan tinggalan batu kuburan besar (Megalitikum) yang berusia lebih dari 1000 tahun sebelum Masehi. Dalam salah satu versi kisah rakyat diceritakan: telah terjadi perang berkepanjangan antara Suku Rejang dan Suku Pasemah. Penguasa Gunung Kaba dan penguasa Gunung Dempo. Perang berkepanjangan tersebut hingga tidak menemukan titik kesudahan. Akhirnya, datanglah suku “Preman Arab” yang tinggal di tengah antara dua gunung tersebut untuk menengahi pertikaian hingga menemukan titik rukun. Suku tersebut kemudian dikenal dengan Suku Lintang. Karena, berhasil melintang (menengahi) pertikaian dua suku besar di Sumatera bagian selatan tersebut. Terlepas dari cerita yang terkesan humoris tersebut, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah menjawab teka teki dan asal usul Dapunta Hyang, raja pertama Kerajaan Sriwijaya? Terkuak, ini jawaban teka teki dan asal usul Dapunta Hyang sebagaimana dapat dilihat dari aspek bahasa dan budaya berikut.
Huruf Pallawa dengan Dialek Melayu
Bagi kaum muslimin, dalam membaca tafsir dan teks teks keagamaan, tidak semata dari aspek tekstual saja, melainkan harus diimbangi pula dengan pembacaan kontekstual. Dilihat sebab sebab hadirnya sebuah redaksi teks, asbab al nuzul (Al Quran) dan asbab wurud (Hadis). Namun, pembaca pembaca prasasti yang melandasi diri dengan ilmu ilmu historiografi tidak jarang mengabaikan pembacaan pembacaan model kontekstual ini. Sehingga wajah sejarah Nusantara masa lalu masih terkesan buram dan bias kolonial, jika meminjam istilah pascakolonialisme.
Para sejarawan Indonesia masih lemah pada titik konstruksi budaya ini sehingga mereka membaca masih sering memakai jurus pukul rata. Misal, belum berani berspekulasi jika suku-bangsa yang ada di Nusantara sudah memiliki kepercayaan dan aksara sendiri. Bahkan, lebih rela jika divonis oleh suku-bangsa asing dengan sebutan percaya kepada animisme dan dinamisme. Walhasil, sejarah Indonesia akhirnya berhasil dibentuk oleh suku-bangsa asing, tidak dari suku-bangsa Indonesia sendiri.
Menurut pandangan asing tersebut, suku-bangsa Nusantara dianggap tidak beragama sebelum kedatangan budaya Hindu (Siwa, Wisnu, Brahma, dan Buddha). Padahal, suku-bangsa Nusantara sudah mengenal istilah “Tu-han” atau “To-haan” dan “Hyang”. Suku kata asli dari bahasa Melayu. Di bidang aksara, antara bahasa Melayu, Sunda, dan Jawa sama sama memiliki dasar huruf Kaganga yang tersebar dari Sumatera hingga Filipina. Dari segi budaya, suku-bangsa Nusantara hampir memiliki kepercayaan yang sama tentang imajinasi sosial “Sang Hyang” dan tangga tangga Punden Berundak. Sebutan untuk nenek moyang sebelum mengenal dewa dewi (nenek moyang) dari budaya orang orang Hindu. Aneh bukan, jika Aksara Kaganga masih disamasamakan dengan Aksara Pallawa, padahal bahasa Melayu sudah menjadi bahasa pengantar sehari hari? Tapi, itu bisa terjadi ketika huruf Arab bisa dimodifikasi dengan dialek bahasa Melayu yang disebut dengan huruf Arab-Jawi (Melayu) atau Pegon.
Memang tidak bisa ditampik, akulturasi dan asimilasi terjadi antara budaya Hindu dan suku-bangsa Proto-Melayu (Melayu Purba) yang datang dari Yunnan pada 3500 sampai 1000 tahun sebelum Masehi dan Deutro-Melayu (Melayu Muda) yang datang sekira 1000 sebelum Masehi sampai 5 Masehi dari Dongson, Vietnam. Akulturasi dan asimilasi tersebut tidak semata dalam sistem kepercyaan saja, melainkan juga pada aspek bahasa. Penggunaan gelar atau sebutan nama pada prasasti bercampur antara bahasa “lokal” dan bahasa dari budaya Hindu yang datang.
Dari unsur dasar Aksara Kaganga yang digunakan oleh suku-bangsa Melayu yang tersebar dari Sumatera, Jawa, sampai Filipina, maka bisa dilakukan eksperimen: suku-bangsa Nusantara tidak memiliki kasta (bertingkat) sebagaimana pandangan Boechari yang menafsir dan menganggap sebutan kata Dapunta pada Prasasti Sojomerto, Pekalongan, adalah kasta rendah. Karena, Boechari masih terstigma pada pandangan kasta dalam agama agama dari budaya Hindu.
Dari unsur dasar budaya Melayu dan Aksara Kaganga tersebut serta berguna untuk menjawab teka teki dan asal usul Dapunta Hyang, maka dapat terkuak, ini jawaban teka teki dan asal usul Dapunta Hyang dalam analisis ini.
Setidaknya, dapat dilihat dari tiga nama sebutan berikut antara Dempo, Cidangiang, dan Dieng. Setidaknya, bahasa Melayu sudah menjadi pengantar bahasa kehidupan sehari hari di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Melayu adalah salah satu unsur pembentuk tiga kebudayaan: Sumatera bagian selatan, Jawa bagian barat, dan Jawa bagian tengah. Dalam formulasi hurufnya, ada yang masih menggunakan Aksara Kaganga, Pallawa, atau bahkan Sansekerta.
Dari aspek bahasa tutur sehari hari, unsur kata “Da”, “Pu”, dan “Hyang” sering dijumpai dalam sejarah Melayu, bahkan prasasti prasasti. Sehingga sebutan kata Dapunta bukan berkasta rendah sebagaimana anggapan Boechari. Karena, suku-kata “Pu” juga digunakan dalam kata “Pu-hyang” atau disingkat Puyang (nenek moyang) dalam ujaran sehari hari masyarakat Sumatera Selatan. Dalam kepercayaan masa lalu, Puyang adalah personifikasi tertinggi yang dipercaya oleh masyarakat Melayu untuk menyebut penghuni alam tak berwujud yang menempati ka-hyang-an. Ini di satu sisi.
Sementara pada sisi yang lain, (gunung) Dempo diambil dari kata Da(m)-Pu-(Hyang), (prasasti) Cidangiang diambil dari kata Ci-Da(ng)-Hyang, dan Dieng dari kata Di-Hyang. Hal ini menguatkan bahasa Melayu merupakan unsur pembentuk budaya Sumatera bagian selatan, Jawa bagian barat, dan Jawa bagian tengah.
Dengan demikian, terkuak, ini jawaban teka teki dan asal usul Dapunta Hyang. Sehingga tidak perlu jauh jauh hingga ke ranah Minang atau justeru ke Tanah Hindu (India). Karena, istilah kata Da, Pu, Hyang tersebut memang sudah akrab di telinga dan digunakan oleh masyarakat suku-bangsa di Sumatera Selatan sendiri. Dapunta Hyang adalah Da-Pu(nta)-Hyang atau Dapuyang yang berasal dari daerah Sumatera bagian selatan sendiri.
Aksara Minang Tidak Lebih Tua
Memang, yang jadi perdebatan kalangan sejarawan adalah dalam mengartikan kata “Minanga Tamwan” yang termuat dalam Prasasti Talang Tuo, Palembang, sebagai daerah asal Dapunta Hyang. Poerbatjaraka dan Soekmono misalnya berpendapat: kalau Minanga terletak di hulu Sungai Kampar, di pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri. Poerbatjaraka mengatakan, Minangatamwan merupakan nama lama dari Minangkabau. Dr. Boechari berpendapat, Minanga berada di hulu Batang Kuantan. Sementara M. Arlan Ismail menyebut Minanga terdapat di muara Sungai Komering Purba. Dan, Slamet Muljana menyebut: Minanga berada di hulu Sungai Batanghari.
Di mana mana, dalam perbedaan persepsi dan penafsiran senantiasa menghadirkan perdebatan, pro dan kontra. Begitu pula, kata “Minanga” yang disebutkan pada Prasasti Talang Tuo, Palembang, tersebut.
Terkuak, ini jawaban teka teki dan asal usul Dapunta Hyang. Jadi jelas, suku-bangsa yang mengenal aksara masih sangat sedikit, tidak sebanyak seperti zaman sekarang. Bahkan, kalangan pengguna aksara menempati posisi tertinggi karena harus menerjemahkan bahasa raja dan kitab suci. Di Jawa, kalangan pengguna aksara ini disebut kauam Kawi. Dari keterbatasan pengguna aksara tersebut, hanya suku Rejang dan suku Batak yang sudah menggunakan aksara model Kaganga di Pulau Sumatera. Sehingga muncul adagium “Jagad Aceh (Batak)” dan “Jagad Pasemah” yang dikenal di Sumatera pada masa lalu untuk menonjolkan kemajuan budaya masing masing.
Sedangkan Aksara Minang tidak bisa dikatakan lebih tua dari Aksara Batak atau Aksara Rejang. Karena, Aksara Minang baru muncul pada abad ke-12 Masehi setelah kedatangan Adityawarman dari budaya Singhasari, Pulau Jawa. Dan, jelas Aksara Minang tidak lebih tua daripada Aksara Ulu (Kaganga) yang digunakan oleh suku Rejang. Sebab, suku yang sudah menggunakan aksara tertua Kaganga di Pulau Sumatera hanyalah Suku Batak dan Suku Rejang. Dengan kata lain, untuk menyebut Dapunta Hyang berasal dari Minang juga perlu diragukan, karena Dapunta Hyang telah mengenal budaya tinggi berupa aksara yang dipahat di atas batu. Dengan demikian, kata Minanga tersebut tidak bisa diartikan dengan (negeri) Minang-a. Dapuyang tidak berasal dari Nagari Minang, tapi dari Sumatera bagian selatan sendiri.