Industrialisasi Berbudaya
Negara maju sering ditandai dengan kemajuan industri, sebagaimana Eropa, Amerika, dan China. Ketika industri banyak menyedot tenaga tenaga kerja. Namun, bukan berarti negara maju dengan industrinya tersebut bebas dari kritik. Negara maju dengan mengusung modernisme telah mendapat kritik pada masa masa setelahnya ketika terjadi eksploitasi besar besaran atas tenaga manusia tersebut yang sering pula disebut sebagai dehumanisasi. Modernisme telah melahirkan dehumanisasi. Maka, tidak heran, jika kemudian muncul pemikiran pemikiran “Post-modernism”, “Post-colonialism”, atau “Post-traditionalism” sebagai kritik terhadap kegagalan kegagalan yang diakibatkan oleh modernisme, kolonialisme, bahkan tradisionalisme.
Herannya, Indonesia sebagai negara yang belum maju dan modern sudah mengadopsi pemikiran pemikiran tersebut sebagai kritik. Dalam tataran kritik diri (self-cricism), hal demikian sering tidak tepat sasaran. Seharusnya, menjadi modern dulu baru melakukan kritik. Mungkin, berbeda pada tataran kolonialisme dan tradisionalisme yang menjadi inheren di dalam kepribadian diri. Sebagai objek, kolonialisme telah membentuk negara bangsa sebagaimana kemudian menjadi ciri negara negara di dunia pasca Perang Dunia ke-2.
Memang, industrialisasi memiliki ragam bentuk, namun menjadi fakta baru yang berdampak pada sistem sosial. Munculnya kalangan pemilik modal dan tenaga buruh adalah potret utama dari kehidupan era industri. Sehingga eksploitasi kemudian menjadi trend tersendiri, bahkan menjadi inspirasi bagi kalangan kalangan pekerja seni. Misal, model jual beli budak di atas panggung menjadi pilihan trendi bagi pemilihan budaya kemudian sebagaimana pemilihan ratu kecantikan. Hanya saja, model pemilihan tersebut terkesan lebih mewah dan terhormat karena mendapat apresiasi yang besar dan luas, meskipun tidak lepas dari peran peran pencitraan yang dibangun oleh media massa.
Di bidang sastra, kemajuan kemajuan eksploitasi tubuh menjadi ciri kemodernan. Begitu pula di bidang bidang seni lainnya. Tidak dikatakan “nyeni” bila tidak menyentuh aspek genital manusia. Dengan demikian, kemajuan kemajuan hanya dinilai dari segi fisik dan genital tersebut, bukan pada esensi dari budaya dan kebudayaan. Jika Islam menempatkan akhlak sebagai esensi puncak dari kebudayaan, maka hal yang sama pada tataran filsafat yang menempatkan etika sebagai puncaknya. Maka, tidak pelak lagi, ketika berbicara budaya selaiknya tidak mengabaikan akhlak dan etika di dalamnya. Hanya saja, takaran takarannya tentu mengalami evolusi di setiap rentang masanya yang secara terus menerus harus menemukan relevansinya.
Hal ini yang terkadang terlupakan ketika hanya mengandalkan rasionalitas nirmoralitas.
Namun sayangnya, ketika berbicara budaya yang muncul kemudian adalah model model dan bentuk bentuk pakaian tradisional, padahal budaya pada dasarnya adalah tumbuh dan berkembang.