Corak metropolitan Caruban Nagari dan Tuban Nagari memiliki banyak kesamaan sehingga dapat memunculkan asumsi Walisongo yang tak pernah sembilan.
Tradisi Buddha dan Syiwa
Ada anggitan yang serupa dengan kata “sanga” di berbagai daerah di Indonesia, secara filologi, memiliki konotasi yang hampir sama. Meskipun, tidak terdapat artefak artefak dan naskah naskah yang benar benar bisa dipertanggungjawabkan. Kata sanga tersebut bisa memiliki makna “persaudaraan”; istilah yang biasa digunakan di komunitas (majelis) Buddha, sanggam. Di Kalimantan, kata sanga tersebut menjadi nama daerah seperti Sanggau, Sanggam, dan Sangatta. Kata Sumenep sendiri sebagai salah satu daerah strategis pada masa Majapahit awal diambil dari kata “Songe-nep”. dan, di daerah Kabupaten Ungaran, terdapat kumpulan candi yang dinamakan “Gedong Songo”. Dengan demikian, kata “songo” dalam peristilahan Walisongo bukan merupakan jumlah bilangan sembilan yang tetap dan biasa dikenal dan ditulis oleh kalangan sejarawan, malainkan sebutan bagi sebuah komunitas (majelis) yang tersebar di Nusantara. Pada naskah Giri, sebutan Walisongo justru ditulis Walisana. Dari komunitas tersebut, kemudian melahirkan istilah pesantren yang lebih dekat kepada budaya cantrik dalam tradisi Syiwa dan Brahma. Kalangan yang rajin membaca kitab kitab Weda.
Akulturasi Syiwa dan Buddha di Indonesia memang berjalan alot, meskipun jarang digambarkan dengan tegas. Terutama, dari kalangan kalangan yang dianggap menyimpang seperti Bhairawa. Aliran Bhairawa ini sering menjalankan ritual “Pancamakara” yang dikenal dengan sebutan “Moh Limo” (madat, maling, madon, main, dan minum). Ritual yang menghalalkan penggunaan narkotika, mencuri, bermain perempuan di luar pernikahan resmi, berjudi, dan minum minuman keras. Dalam cerita cerita yang berkembang sering disebutkan ritual seorang resi yang suka memakan daging manusia (kanibal). Ritual ini yang menurut kalangan penganut Syiwa, Brahma, Buddha sendiri sebagai penyimpangan dan menjadi sebab mundurnya (dekadensi) pada setiap kejatuhan sebuah kerajaan. Sehingga orang orang Bali merasa berterima kasih kepada kaum muslim yang dengan tegas menolak tradisi menyimpang tersebut.
Cara Mudah Mengingat
Memang, Walisongo akhirnya tidak pernah menjadi sembilan sampai penulis penulis belakangan menyebutnya berjumlah sembilan untuk memudahkan ingatan.
Walisongo yang tak pernah sembilan tersebut sebenarnya telah membentuk gaya dan arsitektur metropolis tersendiri bagi kebudayaan di Jawa secara khusus. Gaya dan arsitektur metropolis tersebut sudah terbentuk jauh sebelumnya sebagaimana berdirinya candi Borobudur dan candi Prambanan (Siwagraha) yang melambangkan keragaman (diversity) aliran aliran agama dan kepercayaan, suku, bangsa, etnis, dan ras. Hanya saja perdefinitif sering diseragamkan: candi Borobudur adalah candi milik umat Buddha, sementara candi Prambanan milik umat Hindu.
Padahal, baik Syiwa, Wisnu, Brahma, Krisna, maupun Buddha adalah aliran aliran kepercayaan yang belakangan dikenal dengan sebutan agama, berasal dari tanah (H)indus atau Hindustan. Perkembangan model metropolitan tersebut kemudian berkembang di Jombang, Kediri, maupun Trowulan. Secara jelas, gambaran metropolitan tersebut tergambar dari susunan rumah/istana dan struktur organisasi kerajaan. Setiap raja yang tergabung di dalam tradisi Mitra Satata diberi kesempatan mendirikan istana sendiri di Trowulan.
Walisongo yang tak pernah sembilan membangun secara konsep tidak jauh dari kultur yang sudah ada sebelumnya. Kota Tuban dan Kota Cirebon menjadi tumpuan budaya prototipe metropolitan dari Trowulan misalnya. Hal ini dapat dilihat kelengkapan kelengkapan nama dan petilsan dengan sebutan sama. Maka, tidak heran, jika kemudian, baik di Tuban maupun Cirebon, terdapat tempat dengan sebutan sama seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Bejagung, dan lain lain.