Berbicara kebahagiaan dalam konteks kemajuan memerlukan kebijaksanaan berpikir, karena tolok ukur dan parameternya berbeda beda. Juga, kadang, tidak terlepas dari konteks wilayahnya.
Eksploitasi tubuh telah berlangsung sejak masa Revolusi Industri dengan pertumbuhan pabrik pabrik di seantero dunia. Modernisme dengan kemudahan kemudahannya tidak saja memberikan harapan akan kesejahteraan, melainkan pula efek efek negatif yang diakibatkannya. Dan, akhir segalanya, dengan adanya eksploitasi tubuh manusia. Perbudakan pun terjadi di mana mana, baik secara langsung maupun tidak.
Kritik atas eksploitasi tersebut mengakibatkan manusia untuk kembali kepada jatidirinya sebagai makhluk sosial. Manusia dengan kemanusiaannya.
Demikian pula, kemudahan kemudahan yang diberikan oleh teknologi digital dengan koneksitas yang tinggi telah memberi ruang keterjarakan hubungan antarmanusia semakin intens sekaligus berjarak. Dalam satu ruang duduk, lima orang bisa tidak saling menyapa karena kesibukan masing masing pada alat digital di tangannya.
Demikian pula halnya dengan uang. Uang semakin mudah didapat semakin mudah pula dilepas. Tidak ada yang benar benar aman dan nyaman dalam bisnis digital. Padahal, biaya yang dikeluarkan bisa lebih mahal daripada yang bersifat konvensional bila dilihat dari segi efektivitas penggunaan waktu.
Bagaimana pun, kebahagiaan harus berjalan wajar dengan siklus yang normal. Manusia tidak dapat melepaskan kodratnya sebagai makhluk prokreasi. Makhluk yang berkembang biak.
Kecerdasan buatan bisa saja diciptakan untuk mengalahkan kecerdasan konvensional. Begitu pula, kodrat makhluk prokreasi bisa dimanipulasi melalui kloning. Tetapi, proyeksi tubuh tidak bisa diabaikan begitu saja. Harus berjalan normal.
Jika tidak, maka anomali anomali akan muncul dalam bentuk dan rupa yang berbeda. Bermacam macam.
Memang, ukuran kebahagiaan tidak ada parameternya. Tetapi, setidaknya, bahasa tubuh yang normal dapat memberikan sinyal sinyalnya. Keinginan yang menyalahi batas normal tubuh hanya akan menjauhkan diri dari bahagia dan rasa bahagia. Hiperrealitas yang melahirkan halusinasi sosial tidak dapat dijadikan sumber kebahagiaan, meskipun hal ini bisa saja sudah ada dalam bentuk yang lain dalam kehidupan sehari hari. Seperti kebahagiaan sejati yang diperoleh para sufi dan kebahagiaan semu yang diperoleh oleh pengguna obat obatan terlarang, meskipun menghasilkan situasi psikologis yang hampir sama. Kehilangan kesadaran diri.