Setiap kata pada dasarnya tidak bisa berdiri sendiri yang tiba tiba turun dari langit. Setiap kata memiliki ruang realitas sejarahnya sendiri, ruang sehari hari ketika digunakan. Oleh karena itu, setiap suku-bangsa di dunia ini memiliki ungkapan, ujaran, dan istilah sendiri. Berbeda satu sama lain. Meskipun, memiliki konotasi makna yang sama. Begitu pula, dengan mengenal kata santri di Indonesia harus dipahami pada ruang dan waktu tertentu.
Pentingnya ruang dan waktu tertentu tersebut setidaknya akan memberi pemahaman lebih luas kalau di luar ruang dan waktu tertentu tersebut masih ada yang lain yang bisa memberi khazanah pengetahuan.
Mengenal kata santri di Indonesia para sarjana sering mengaitkan dengan kata “cantrik” atau orang pengiring dalam kultur Jawa. Seorang cantrik mengiring seorang resi, seorang kiai, atau seorang pangeran. Cantrik adalah pengiring setia. Dalam konteks keagamaan, seorang cantrik akan dipahami sebagai orang yang mengiring seorang kiai atau resi di dalam mengajarkan kitab kitab suci. Terutama, Al Quran bagi umat Islam. Dari kata cantrik itulah kemudian muncul istilah santri. Orang yang tekun belajar agama alias “tafaqquh fi al din”. Dalam proses tersebut kemudian membutuhkan seorang figur tokoh, tempat ibadah, dan asrama tempat belajar.
Mengenal kata santri di Indonesia tidak bisa dikatakan secara definitif sebagaimana dipahami melalui kamus. Karena, harus pula dipahami peristilahannya. Sehingga kata tersebut tidak bisa dimonopoli oleh salah satu suku dan daerah tertentu.
Jika merujuk kepada sejarah proses belajar di Indonesia, maka sumber pengetahuan tidak bisa terlepas dari tempat ibadah, meskipun didapat pula dari pengalaman pengalaman di luarnya. Karena, masing masing saling mengisi tidak dalam kerangka kuasa “paling tahu”. Bisa saja, pengalaman memberikan pengetahuan lebih detil daripada materi materi pengetahuan yang sudah dipelajari. Bisa pula, sebaliknya. Karena, antara teori dan praktik bisa saja saling bertolak belakang.
Mengenal kata santri di Indonesia memang umum digunakan di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kata yang kemudian melahirkan sebuah institusi pendidikan yang bernama pesantren.
Sebelum kata santri itu populer belakangan ini, masyarakat Melayu lebih populer menggunakan kata siak. Kata ini umum digunakan dalam kehidupan sehari hari. Sebagaimana orang Melayu yang bertanya tentang asal usul seseorang yang belum dikenal (asing), “ Siak urang mana?” Anda santri mana? Maka, yang ditanya akan menjawab asal usul atau tempat tinggalnya. “Awak urang Palembang”, misalnya. Jadi, kata siak tersebut sudah melekat dalam bahasa pergaulan sehari hari. Begitu pula, kata siak pun dikenal penggunaannya di tatar Sunda seperti “Siak, mah….” dan lain lain. Artinya, penggunaan kata siak lebih umum dan tidak melibatkan institusi tertentu yang secara kultural masyarakat Indonesia adalah bangsa yang religius. Oleh karena itu, mengapa di Sumatera ada negara yang bernama “siak”. Selamat hari santri alias hari siak!