Hubungan Seks adalah salah satu kebutuhan dasar manusia dalam prokreasi selain makan, merasa, dan berpikir. Namun, jarang menjadi perhatian sosial, bahkan cenderung diabaikan. Begitu pula, ketika ritual seks dilakukan di kuburan (setra).
Sebelum Islam datang, masyarakat di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa, banyak menganut paham Bhairawa. Ajaran yang mengutamakan spiritualitas tubuh. Pada awalnya, ajaran ini cukup religius karena mengandung banyak makna, terutama dalam menyikapi kenikmatan kenikmatan jasmani seperti makan daging, makan ikan, banyak minum, dan berhubungan suami istri. Namun, di kemudian hari dilakukan secara ekstrim ketika ritual seks dilakukan di kuburan.
Candi Sukuh sebagai Saksi
Ketika ritual seks dilakukan di kuburan, banyak orang tidak tahu, hubungan seks juga melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Namun, gonjang ganjing perjalanan sejarah pada abad ke-15 telah mengakibatkan masyarakat tidak terurus oleh negara sehingga imajinasi sosial terjadi karena ketergantungan yang disandarkan kepada ritual keagamaan. Ketergantungan terhadap ritualitas tersebut menimbulkan berbagai macam “penyimpangan penyimpangan” yang oleh kalangan Hindu-Buddha sendiri ditolak.
Sebab sebab kemunduran Majapahit disebutkan oleh para sejarawan, karena serangan dari kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa, Demak. Pendapat yang mulai disanggah oleh teori teori baru oleh kalangan sejarawan belakangan.
Kejatuhan Majapahit disebabkan karena Majapahit sedang mengalami dekadensi moral dan konflik internal.
Jika diamati, candi Sukuh memiliki relief yang menggambarkan kemakmuran melalui seksualitas. Terutama, Lingga (alat kelamin laki laki) dan Yoni (alat kelamin perempuan) pada patung dan relief tersebut yang menunjukkan jika Majapahit sebenarnya sedang mengalami puncak kemakmuran. Sebagaimana berulang kali Kubilai Khan mengirim pasukan coba menaklukkan Nusantara. Kegagalan serangan bala tentara Tatar ke Singasari yang terdiri dari 30.000 pasukan, kaveleri dan infantri, telah memicu amarah yang sangat besar bagi Kubilai Khan.
Dari aspek ini, kemudian pula melahirkan karya sastra pinggiran Gatoloco, Sabda Palon dan Naya Genggong, yang menilai buruk terhadap aktivitas keberagamaan umat Islam. Sebagaimana Islam memandang, seksualitas merupakan hasrat dan nafsu. Bukan bagian dari ritual keagamaan yang vulgar. Islam memandang lembaga perkawinan, pernikahan, beserta aktivitas seksual adalah lembaga sakral dan rahasia. Bahkan, Islam juga mengajarkan tentang adanya mas kawin (shoduqat) yang diberikan oleh pihak laki laki kepada pihak perempuan sebagai buah penghormatan dan kasih sayang.
Tidak berhenti pada relief relief candi Sukuh dan sastra Gatoloco, aktivitas seksual tersebut masih berlaku hingga masa belakangan di Gunung Kemukus. Bahkan, juga di kuburan kuburan di tempat tempat lain dengan tujuan untuk mendapatkan kemudahan dalam menggapai kekayaan.
Islamisasi Kuburan
Pada pandangan umum, candi dianggap sebagai tempat pemujaan atau “rumah ibadah” bagi kalangan Hindu-Buddha. Hal demikian tidak salah, meskipun candi sebenarnya adalah tempat penyimpanan “abu mayit” raja raja pada zaman sebelum Islam. Sebagaimana candi Ngetos merupakan tempat persemayaman abu jasad dari Prabu Hayam Wuruk. Kata “setra” dalam pandangan umat terdahulu bisa berarti sebuah percandian, kuburan. Di candi candi itulah diadakan upacara maithuna, persetubuhan, sebagai rangkaian dari upacara Pancamakara (Ma Lima) yang didasarkan dari laku yoga-tantra.
Sejalan dengan berlangsungnya Islamisasi penduduk Jawa, maka ulama ulama terdahulu menjadikan kuburan sebagai tempat ziarah (the pilgrim) dengan cara melakukan bacaan bacaan tahlil dan doa doa yang dianjurkan bagi umat Islam yang telah wafat. Bahkan, di Jawa juga tetap dilakukan upacara “nadran” atau membersihkan kuburan ketika menjelang bulan puasa.
Ketika ritual seks dilakukan di kuburan, maka seharusnya marak jika Bhattara (Bra) Wijaya telah diperabukan di candi Sukuh tersebut. Sebagai tempat peristirahatannya yang terakhir. Bukan moksa di Gunung Lawu sebagaimana diungkapkan di dalam narasi Sabda Palon dan Nya Genggong. Meskipun, moksa sendiri dapat dipahami sebagai puncak capaian keruhanian seseorang.
Namun yang jelas, candi Sukuh yang didiirkan pada masa keruntuhan Majapahit tersebut tidak pernah disebutkan sebagai tempat perabuan Brawijaya. Walhasil, ketika ritual seks dilakukan di kuburan, mungkinkah spekulasi cerita Sabda Palon dan Naya Genggong itu tidak pernah ada? Ataukah hanya berupa sanepo sanepo (eufimisme) dalam mengungkapkan fakta sejarah yang sebenarnya? Yang jelas, pergi haji ke Mekah bagi yang mampu sebagai rukun Islam kelima adalah bertujuan ziarah. Sarjana Barat menyebut haji sebagai the pilgrim. Kunjungan ziarah dan napak tilas Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as terhadap leluhur mereka Nabi Adam dan Hawa di Mekah dan Muzdalifah. Dan, disunnahkan untuk berziarah pula ke makam Rasulullah saw di Madinah.