Serat Gatoloco ditulis ketika situasi zaman sedang mengalami dekadensi. Sehingga memunculkan kritik atas situasi sosial yang sedang terjadi. Membaca karya karya sastra, baik sastra pinggiran maupun sastra istana, selama ini hanya dipandang dari sudut “like dan dislike”. Suka dan tidak suka penggemarnya. Padahal, seperti membaca Serat Gatoloco secara lebih obyektif juga sangat diperlukan. Hal ini tentu dilihat dari sisi kondisi sosial yang sedang terjadi.
Sastra Bagi yang Kalah
Ada anggapan jika sastra sejarah ditulis karena kekalahan. Dalam bahasa agama Islam bisa disebut “selemah lemahnya iman”. Karena tidak mampu melawan secara fisik, lalu membuat alibi alibi melalui sastra. Sebagaimana slogan yang populer “ketika jurnalisme dibungkam sastra harus berbicara”.
Kemunculan sastra sastra pinggiran (kata lain dari sastra populer) adalah jawaban sosial terhadap situasi politik yang memang sedang mengalami dekadensi. Upaya demi upaya untuk melakukan perubahan dinyatakan tidak berhasil, karena relasi kuasa begitu kuat. Meskipun, dalam tataran tertentu, masih saja ada perlawanan perlawanan sporadis. Untuk itu, membaca Serat Gatoloco secara lebih obyektif pada zamannya tidak kalah penting untuk menilai, menimbang, dan mengambil keputusan yang tepat.
Di dalam kitab Pustaka Raja Raja (kalau tidak salah ingat), disebutkan jika Bhattara (Bra) Wijaya ke-5 memiliki anak yang banyak hingga seratus orang. Bahkan, di dalam buku Philip K Hitti, History of the Arabs (1974) disebutkan kalau Sayidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib memiliki isteri 200 orang sehingga tidak pantas menjadi khalifah. Dan, yang lebih pantas adalah Mu’awiyah ibn Sofyan.
Terlepas dari pro dan kontra buku Philip K Hitti tersebut, membaca sebuah karya tulis bisa dianggap benar dan bisa pula tidak. Namun yang jelas, mesti dikembalikan kepada kondisi sosial politik dari realitas karya tulis tersebut ketika diterbitkan.
Dengan demikian, membaca Serat Gatoloco secara lebih obyektif tidak bisa hanya dilihat dari sebatas benar atau salahnya karya tersebut, melainkan dapat pula dilihat dari ungkapan kritik yang terjadi pada zamannya.
Untuk Apa Karya Sastra
Sudah disebutkan di atas, sastra lahir untuk menjawab kekalahan. Ketika orang atau suatu suku bangsa menang, dia tidak akan melahirkan karya sastra. Namun, dampak dari karya karya sastra tersebut tetap tidak bisa dianggap remeh, karena akan menembus jutaan kepala manusia. Bila dibandingkan dengan peluru senjata tajam, “satu peluru satu kepala”.
Menilai karya sastra dengan membaca Serat Gatoloco secara lebih obyektif, setidaknya akan memberikan informasi dan gambaran, jika Brawijaya V memang tidak disukai oleh zamannya. Terelepas dari keberhasilannya sebagai seorang raja, reaksi dan kritik tajam yang dilakukan oleh masyarakat pinggiran bisa menjadi dan memiliki pengertian umum. Dalam arti, reaksi itu memang benar benar ada. Semisal, kemunculan kesenian Reog digambarkan atas ketidaksukaan masyarakat Ponorogo (Wengker) terhadap Bra Wijaya yang melakukan banyak perkawinan perkawinan politik. Sehingga melumpuhkan ikatan sosial (keluarga) yang lebih dekat.
Namun, strategi politik perkawinan bukan sesuatu yang baru dilakukan oleh Bra Wijaya V, melainkan sudah menjadi tradisi raja raja sebagaimana kehadiran kalangan selir. Dengan memperbanyak istri, politik perkawinan yang dilakukan oleh Bra Wijaya V telah memperluas ekspansi damai yang sedang dilakukan olehnya ketika Majapahit sedang mengalami disintegrasi bangsa. Bra Wijaya V dihadapkan pada pilihan untuk meningkatkan hubungan keluarga raja raja di Bumi Jawa. Minimal, dalam taraf isu dan wacana yang berkembang pada saat itu. Walhasil, Bra Wijaya V tidak hanya dimiliki oleh satu kelompok saja, melainkan milik semua raja raja di Jawa yang mengikatkan perkawinan dengannya atau anak cucunya.