Kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan dana dana sosial, terutama zakat, sebaiknya dikembalikan kepada masyarakat lagi sehingga tidak terganggu dari sentimen dan intervensi peristiwa peristiwa politik lainnya. Menarik untuk dibicarakan adalah seperti apakah presiden yang memahami keadilan dan kemakmuran?
Keadilan dalam Menciptakan Kemakmuran (Welfare State)
Presiden yang memahami keadilan dan kemakmuran tentu harus berlatar belakang seorang santri. Pelajar pelajar dan sarjana sarjana berlatar belakang pendidikan umum tidak cukup untuk memahami tentang sejarah keadilan dan kemakmuran. Memang, kesannya sangat normatif, tapi pengalaman dapat menjadi salah satu faktor dan indikasi: keadilan dan kemakmuran tidak cukup dalam hitungan kalkulatif kalkulus, melainkan juga perlu dirasakan secara langsung kondisi masyarakat. Sementara ini, keadilan ekonomi melalui zakat dipandang masih kurang maksimal. Bahkan, untuk di beberapa daerah, zakat belum dijadikan sebagai alternatif pajak, padahal undang undangnya sudah jelas. Di sini, pemahaman antara pajak dan zakat hanya bisa dipahami oleh kalangan santri, bukan pendidikan yang berlatar belakang sekuler.
Indonesia menurut Buya Said Aqil Siroj sudah banyak kalah dalam segala bidang seperti teknologi, ekonomi, perdagangan, dan lain lain. Tapi masih ada satu kemenangan; “Kita masih punya budaya,” ungkapnya. Melalui budaya inilah Indonesia masih aman, tenteram, dan damai. Melalui budaya ini pula, ketahanan ekonomi masyarakat dapat berlangsung dengan baik seperti adanya bancakan, gotong royong membangun rumah, urunan, bahkan tradisi lumbung. Konsep lumbung adalah menyimpan kebutuhan sisa dari kebutuhan kebutuhan pokok. Tidak semua kebutuhan dihabiskan secara konsumtif, melainkan disimpan jika terjadi masa sulit yang dapat melanda tanpa diperkirakan waktunya.
Konsep kemakmuran tidak bisa lagi mengikuti konsep Development yang sekarang menjadi pijakan dasar perekonomian Indonesa. Konsep kemakmuran tidak semata melihat dari aspek pertumbuhan semata. Melainkan juga kesejahteraan dan meningkatkan mutu dan daya saing bangsa, terutama dalam meningkatkan distribusi dan industri masyarakat ekonomi kecil dan menengah. Sehingga negara harus memiliki kontribusi dan regulasi yang lebih mapan dalam membangkitkan ekonomi. Tidak saja negara China dengan tingkat perdagangan yang tinggi, umat Islam sebenarnya memiliki konsep zakat yang jitu di dalam menghapus kemiskinan dan keterbelakangan.
Tujuan zakat adalah menghapus daftar kemiskinan. Pengelolaan zakat sebagai dana sosial harus bersifat mandiri, tidak masuk dalam daftar anggaran belanja negara. Pengelolaan dana zakat harus senantiasa dalam pengawasan masyarakat secara langsung, sehingga memerlukan pendampingan dan perencanaan yang terprogram.
Mengoreksi Konsep Developmentalisme
Pengelola zakat sebaiknya diambil dari santri yang visioner dan memiliki pengalaman di bidangnya. Urusan keagamaan, terutama zakat, tidak harus semata dari dalil dalil tertulis, melainkan pula realitas sosial. Selama ini, dalil tertulis selalu menjadi rujukan dalam setiap permasalahan, itu tidak salah. Tapi, ada yang lebih urgen di dalam penyelesaian masalah tersebut, melainkan juga aksi aksi nyata yang memiliki visi. Demikian pula dalam urusan pengelolaan zakat dewasa ini, mampukah lembaga lembaga zakat menghapus semua data kemiskinan? Bukankah sekarang zaman “Top Up” dan “Star Up”? Jika persoalan itu berhasil, maka barulah Indonesia mampu memimpin dunia dan membantu negara negara yang terbelakang. Menimbang presiden yang memahami keadilan dan kemakmuran diharapkan Indonesia meninggalkan konsep “Pembangunan” atau development yang tidak berimbang dengan mengabaikan keadilan ekonomi. Justru, dengan development dan pertumbuhan sebagai ujung tombaknya telah membawa Indonesia ke ranah kapitalisme global. Meminjam istilah Rizal Ramli, negara yang paling banyak hutangnya adalah negara yang paling berprestasi. Semakin tinggi hutang semakin tinggi pula pajak yang harus ditanggung. Padahal, umat Islam sebagai penduduk mayoritas warganegara Indonesia memiliki konsep zakat untuk pemerataan, keadilan, dan kemakmuran yang belum berhasil dalam pelaksanaannya. Karena, selama ini, selalu dihantam oleh konsep development tersebut.
Oleh karena itu, zakat harus diterapkan dalam konsep budaya sehingga tidak terkesan doktriner yang selama ini sering dipandang menyimpang. Pengelolaan zakat dan dana dana sosial lainnya dapat disosialisasikan melalui acara acara tradisi dan budaya. Oleh karena itu, kalangan santri, baik di masjid masjid kampung maupun pondok pesantren lebih memahami sumber sumber daya keuangan dan potensial berdaya lainnya, memiliki peranan penting dalam konteks pengendalian krisis ekonomi global. Dalam bidang zakat, kalangan santri pula yang mengalami sendiri kehidupan di dalam lingkungan mereka. Sehingga kalangan santri pula yang memiliki visi, data, dan misi yang akan dikembangkan dan dilakukan bagi keadilan dan kemakmuran masyarakat, bangsa, dan negara.
Walhasil, selama presidennya bukan dari kalangan pesantren, maka konsep development tersebut terus akan berlangsung hingga Indonesia akan kehilangan arah tujuan berlayar. Sehingga zakat harus dikelola secara benar, inovatif, dan tepat sasaran. Kemiskinan bukan semata problem problem kebutuhan pangan, sandang, dan papan saja, melainkan juga masalah pendidikan dan jaminan kesejahteraan sosial. Terutama, keadilan ekonomi.