Berbicara tentang zakat sebagai problem solving menghadapi krisis tentu tidak semata dilihat dari sudut normatif agama semata, melainkan juga realitas sosial dan manajemen pengelolaannya. Di satu sisi, kapitalisme memang seperti tidak pernah mewujudkan cita cita keadilan sosial, bahkan cenderung kemiskinan itu memang harus ada dan diciptakan abadi. Padahal, dalam kasus sejarah Nabi Muhammad saw, zakat merupakan senjata utama di dalam menghadapi krisis multidimensi.
Problem Kemiskinan
Kapitalisme terjadi manakala distribusi sumber daya modal dikuasai oleh segelintir orang, tidak merata. Munculnya, zakat produktif yang fatwanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya seperti pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmar (Investasi) telah memberi peluang terbuka untuk pengembangan dana zakat. Dengan kata lain, selama distribusi (tasharruf) zakat dapat dilaksanakan dengan seefektif mungkin, maka penumpukan modal hanya pada segelintir orang dapat dihindari.
Namun, kenyataannya, problem kemiskinan masih saja tetap ada. Jumlahnya tidak berkurang. Meskipun, kategori kemiskinan tersebut masih memerlukan pantauan serius. Di samping itu, pemungutan dana zakat masih sering mengalami tumpang tindih dengan kegiatan kegiatan filantropis yang lain semisal asuransi. Bahkan, asuransi cenderung tidak bisa diketahui secara pasti tentang jaminan polis yang diambil. Misal, ketika seseorang mengasuransikan sebuah mobilnya, lalu selama pemakaian mobil tidak pernah mengalami kerusakan, maka kemanakah dana dana polis yang sudah dikumpulkan tersebut.
Memang, kategori kemiskinan selama ini memang hampir tidak jelas. Apakah kategori miskin tersebut disebabkan karena kekurangan makan, rendahnya mutu pendidikan, atau tidak memiliki pekerjaan.
Memerlukan Pendampingan
Zakat sebagai problem solving menghadapi krisis dilakukan tidak dalam sekali program saja, melainkan secara terus menerus. Kebijakan pemerintah di dalam mengelola dana zakat seharusnya terlepas dari intervensi karena prinsip kemaslahatannya terletak pada masyarakat. Maka, untuk mengukur tingkat kompleksitas problem yang dialami masyarakat harus dikembalikan kepada masyarakat sendiri. Tidak masuk ke dalam ranah politik praktis.
Dengan berprinsip dana masyarakat kembali kepada masyarakat lagi, tentu hal ini memerlukan pendampingan dalam problem problem kompleks pada masyarakat. Sehingga kemiskinan benar benar bisa dihapus dan bisa memasuki pada problem dan kesulitan yang menjadi prioritas setelahnya. Semisal, masalah perlindungan kesehatan, pendidikan,dan baru kemudian jaminan kemanan sosial lainnya.
Menimbangzakat sebagai problem solving menghadapi krisis adalah konsep yang paling ditakuti oleh kapitalisme. Madinah yang tidak memiliki sumberdaya cukup kecuali perkebunan kurma, tapi menghadapi dua imperium besar kala itu, Romawi dan Persia. Secara finansial, dua imperium tersebut lebih siap untuk menaklukkan dunia manapun. Tapi, dengan resep zakat, Madinah dapat bangkit menjadi pusat peradaban. Bahkan, pada masa Khalifah Abu Bakar Al Shiddiq, orang yang tak membayar zakat wajib diperangi, karena pentingnya zakat.
Zakat di era kekinian, bukan karena kurangnya muzakki, melainkan memang dikelola tidak untuk kemakmuran masyarakat, tapi untuk melayani kapitalisme. Walhasil, zakat sebagai dana sosial tidak difungsikan untuk kepentingan sosial. Hal ini dapat dilihat ketika masih banyak lembaga swadaya masyarakat yang menerima dana santunan dari founding luar negeri. Padahal, dana founding tersebut juga berasal dari dana dana filantropi masyarakat.
Setidaknya, bukan saja kesehatan lembaga pengelola masyarakat atau tepatnya sasaran penerima bantuan zakat, melainkan pembinaan terhadap mustahik juga memerlukan top up yang tidak kalah penting. Dengan demikian, UMKM tidak lagi dijadikan sebagai obyek penyerta dalam sebuah program ekonomi global saja, melainkan benar benar mandiri dan makmur.
Walhasil, untuk mengurangi dominasi kapitalisme pembesar pembesar Quraish di Mekah, zakat menjadi senjata ampuh di dalam merubah sistem yang penuh kejahiliahan. Dalam kondisi krisis dan di tanah gersang, Rasulullah saw mampu memberi contoh jika sejarah yang Beliau tempuh jauh lebih sulit daripada zaman sekarang yang penuh dengan fasilitas fasilitas.