Selama ini, dunia akademik memberi jarak dengan realitas. Mereka membangun kuasa pengetahuan menurut Michel Foucault. Di dunia susastra, jarak tersebut tampak dalam sematan kata “sastra akademik” dan “sastra populer”. Dari sini, sejauh manakah kebutuhan manusia terhadap indeks referensial guna menjawab kesenjagan tersebut? Ataukah tidak perlu diberi jawaban? Cukup dibirakan mengalir dan menemukan jawabannya sendiri.
Sarjana Pemula
Sudah sejak lama, Indonesia dikenal negara yang rapi birokrasi, bahkan ada keluhan keluhan lambannya jalur birokrasi sehingga melambatkan investasi. Tentu, hal ini tidak salah seratus persen. Alasan ketatnya jalur birokrasi ini merupakan upaya menghambat agar negara tidak bertindak liberal, pun protektif terhadap ketahanan dan keamanan negara.
Namun, satu hal yang perlu disesali adalah kegiatan kegiatan yang bersifat referensial cenderung hanya sebatas informatif, tidak pada tahap implementatif dan investigatif. Sejauh manakah satu disiplin referensi mendekati objeknya dan berkesesuaian dengan realitas?
Pada kasus kasus hukum di peradilan akan sangat kentara sekali nuansanya. Karena, selain pemenuhan pada kebutuhan kebutuhan hukum formil, hukum hukum yang bersifat materil dan faktuil sering mengalami deviasi dan simplikasi. Sehingga, selama kebutuhan kebutuhan hukum formil sudah terpenuhi, selama itu pula hukum materil dicukupkan.
Lalu, apakah yang dibutuhkan kemudian untuk melengkapi dan memperkuat kebutuhan kebutuhan formil tersebut? Otoritas. Satu penguatan otoritatif kemudian diangkap sebagai penguat sehingga satu putusan putusan tidak dapat diganggu gugat lagi. Padahal, penguatan otoritas tersebut juga tidak terlepas dari simplikasi simplikasi sehingga sebuah putusan hukum harus bersifat normatif.
Dan, seorang sarjana pemula tidak akan membingungkan diri pada fakta fakta baru untuk menyanggah atau bahkan menganulir putusan yang sudah ditetapkan itu.
Walhasil, guna memenuhi kebutuhan manusia terhadap indeks referensial menjadi salah satu langkah alternatif agar tak terjebak pada lingkup normativitas yang menghindari fakta. Tidak jarang terjadi dan bahkan sering, pengambilan pengambilan referensi dari buah hasil dari kesalahan kesalahan tafsir para pendahulu. Sehingga kesalahan kesalahan tersebut bersifat berantai dari generasi ke generasi, dari masa ke masa, yang tak terhitung waktunya hingga kapan.
Kebutuhan atas Sanad
Sanad dan problem realitas menjadi salah satu topik yang terus akan menjadi pembahasan. Di satu sisi, sanad diperlukan “agar penafsiran tidak salah”. sementara di sisi yang lain, sanad tidak diperlukan lagi karena bisa mengandung kesalahan kesalahan dan penyimpangan penyimpangan. Karena, setiap generasi, setiap masa, memiliki nuansa makna dan fakta tersendiri. Meskipun, masih bisa ditarik benang merahnya.
Kebutuhan manusia terhadap indeks referensial menjadi satu satunya jalan agar tidak terjebak pada kebutuhan kebutuhan yang bersifat praktis dalam mengambil satu keputusan. Boleh jadi, gerakan feminisme memiliki perbedaan perbedaan ruang dan waktu antara feminisme di Jawa dan luara Jawa umpamanya. Di Jawa, dengan pola dan tradisi yang terstruktur, anggitan perempuan sebagai kanca wingking memang benar benar terjadi secara faktual. Antara wacana dan realita. Tapi, hal itu tidak berlaku di luar Jawa manakala perempuan sejak pagi buta di waktu Subuh sudah beranjak pergi ke kebun, bahkan dengan memikul bawaan beban ke dalam keruntung (keranjang). perempuan di luar Jawa tidak bisa dikatakan hanya sebatas kanca wingking, termasuk pada tafsir tafsir misoginis yang menyudutkan pihak perempuan. Hal demikian tidak ada dan tidak terjadi. Lalu, apa yang menjadi problem feminisme kemudian bagi perempuan perempuan di luar Jawa? Problem problem mereka adalah modernitas. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan kebutuhan pokok pada manusia, maka timbullah rasa tidak aman dan nyaman. Perempuan yang biasa berangkat Subuh disertai dengan rasa takut, justru waktu tersebut sangat efektif untuk melakukan tindak tindak kejahatan.
Artinya, pijakan pijakan referensial tidak bisa dipegang secara seratus persen, karena pertimbangan pertimbangan motif. Pertimbangan pertimbangan motif ini memerlukan satu indeks kesesuaian, suatu istilah tersendiri, meskipun dalam kapasitas konotatif dan denotatif. Jika demikian, masihkah masalah masalah referensial diributkan lagi?