Ketika perlu membaca novel tanpa pengantar, maka perlu diskusi. Untuk memahami sesuatu yang rumit memang seharusnya dilakukan diskusi. Mengapa perkara susastra belum juga kunjung selesai di Indonesia? Karena, tidak ada ruang diskusi yang terbuka. Sehingga masih sering dijumpai penghakiman penghakiman secara sepihak. Tugas seorang susastrawan adalah menemukan ruang dan titik kulminasinya sendiri. Tidak bisa dihambat oleh satu keyakinan bersama.
Demikian pula, pada problem problem filsafat, akan banyak hal yang rumit dan sulit dipahami. Namun, tidak abai begitu saja. Harus didiskusikan sehingga bisa dipahami dan memiliki orientasi. Meskipun, masih dalam koridor yang mendekati obyek. Seorang susastrawan tidak perlu mendeskripsikan sebuah definisi yang tegas. Cukup melalui simbol simbol yang bisa dipahami. Perkara definisi, biar ada di kepala masing masing.
Penulis: Zoel Kanwa
Judul: Mendaki Gunung Cahaya
(Kisah Inspiratif tentang Perjalanan Spiritual Seorang Anak Muda dalam Rangka
Meraih Cinta dan Ridha Allah SWT)
Penerbit Nadi Pustaka, 2022
Ketika perlu membaca novel tanpa pengantar, seorang penulis sebenarnya tidak takut untuk menggambarkan realitas sebenarnya yang ada di sekitarnya, tapi sering bayang bayang ketakutan datang menghampiriinya dan sang susastrawan memerlukan “kata pengantar” yang panjang untuk menjelaskan hasil buah karyanya.
Hal ini menunjukkan kalangan pembaca belum sampai pada taraf kedewasaan. Sebab, kedewasaan akan tumbuh ketika perlu membaca novel tanpa pengantar. Padahal, pembaca yang kritis, dia memerlukan referensi yang banyak untuk melakukan perbandingan perbandingan dan diskusi diskusi yang berisi dan bergizi.
Sinopsis
Lika liku kehidupan setiap anak manusia akan menemukan ujungnya sendiri sendiri, senafas dengan jalan yang ditempuhnya. Laksana Firaun yang menemukan pintu tobat ketika maut sudah berada di ujung tenggorokan. Masalah jalan ini, tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Dia Sang Pemiliknya. Sehingga tidak ada hukum di dunia yang bisa membenarkan tentang benar salah sebuah perjalanan. Apakah ia akan tersesat atau dibenarkan dari sejak awal.
Novel Mendaki Gunung Cahaya ini menyajikan dan telah memberi inspirasi sebuah perjalanan yang rumit ketika menembus institusi institusi formal yang normatif. Sebagaimana Nabiel menjumpai orang orang terdekatnya begitu runyam dalam menyikapi hidup mereka. Walaupun Nabiel sendiri tidak kalah runyam di dalam mecari jati dirinya.
Kesejatian memang harus dicari, baik secara formal di muka masyarakat maupun di dalam pengakuan diri. Namun, untuk menggambarkan dan mengungkapnya ke muka khalayak tidak semudah menjelaskan citra yang hadir dan tampak baik baik saja. Di dalam realitas, performance bisa dibentuk. Bisa diciptakan dan bisa dicitrakan sehingga membius setiap orang. Namun, di balik itu, dapatkah dijelaskan kerumitan kerumitan di dalam proses pembentukannya?
Memang, sejatinya, kehadiran Tuhan sudah dikenal sejak awal, tidak perlu menjalani proses yang rumit dan runyam. Cukup berlaku normatif. Namun, Tuhan memiliki caraNya sendiri untuk menghadirkan diriNya kepada setiap hambanya.
Novel ini tidak bermaksud membandingkan antara Nabiel dan Firaun. Masing masing memiliki jalannya sendiri. Jika Firaun bisa menuhankan diri agar orang lain menyembah dirinya, maka Nabiel telah coba mendobrak keegoan diri agar Tuhan tidak bersemayam di dalam dirinya sehingga ia bisa berlaku tidak seperti Firaun. Tuhan bagi Nabiel adalah Tuhan yang dia rasakan. Bukan Tuhan atas bentukan pikiran pikiran, perasaan perasaan, atau bahkan yang dicitrakan selama ini. Setiap orang bisa “kecelik” untuk menikmati alur cerita di dalam novel ini!