Tradisi masyarakat akademik di Indonesia dinilai terlalu rapi sehingga jarang menghasilkan inovasi inovasi yang dinilai mandiri. Hal ini terbukti dari rujukan rujukan yang senantiasa berorientasi pada teori teori skala internasional. Padahal, setiap produk teori mesti ada kelemahan kelemahannya, termasuk produk ilmiah dari Barat yang banyak memegang lisensi teori teori dunia. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk merubah tradisi ilmiah yang sebenarnya tak baru.
Kemajuan kemajuan inovasi dan modifikasi setidaknya telah merubah arah: tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Produk manakah yang benar benar baru kecuali melakukan modifikasi modifikasi yang berbasis budaya? Dalam pengertian budaya ini, setiap produk bisa dimodifikasi sesuai dengan situasi dan kondisi di tempat praktik praktik produk tersebut dilaksanakan atau dikerjakan.
Orientasi Ilmiah
Merubah tradisi ilmiah yang sebenarnya tak baru diperlukan dalam merubah orientasi ilmiah yang ada sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab, orientasi ilmiah mendasarkan diri pada otentikasi dari plagiasi. Plagiasi tidak semata cacat moral yang harus dihindari oleh seorang akademisi, tapi tantangan inovasi dan sesuatu yang baru adalah capaian capaian yang harus diraih.
Di dalam pengembangan teori, seorang akademisi dituntut untuk menciptakan teori teori baru atau mengembangkan teori yang sudah ada.
Lalu, kenapa dunia akademik di Indonesia terlalu lamban di dalam merespon perubahan yang cepat?
Mekanisme tradisi ilmiah yang masih belum berubah dapat menjadi sebab kelambanan kelambanan dalam merespon perubahan yang cepat tersebut. Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) pernah mengungkapkan, “Kalau bangsa lain bisa terbang ke bulan dengan pesawat, maka orang Indonesia akan sampai ke bulan dengan menumpukkan makalah.” Artinya, kemajuan bangsa Indonesia masih terhambat oleh aturan aturan birokrasi yang referensial. Mencantumkan “catatan kaki” dengan njelimet tentang “siapa menulis apa”. Penulis, judul buku, kota penerbit, penerbit, dan tahunnya harus tercantum secara lengkap. Padahal, hal demikian bisa diringkas dan diatur di dalam indek. Tugas indekslah yang menentukan sah dan tidak sahnya sebuah referensi. Ilmiah dan tidak ilmiahnya sebuah karya otentik.
Merubah tradisi ilmiah yang sebenarnya tak baru bisa pula dilakukan jika sejak lama tradisi menulis (yang sekarang digembargemborkan melalui kampanye literasi) sudah menjadi kebiasaan wajib sejak dini. Menulis itu gampang dan cepat asalkan mengerti tekniknya. Bahkan, dalam tingkat graduasi pascasekolah menengah atas, seorang siswa yang menjadi mahasiswa sudah dapat dilatih untuk menyelesaikan tingkat doktoral. Tapi, sekali lagi, pendidikan di Indonesia masih mementingkan problem problem birokrasi yang sebenarnya bisa dipangkas. Hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.