Banyak santri yang tidak memahami arti murajaah atau nderes (bahasa Jawa). Apalagi kalau sudah menginjak status “penghapal” Al Quran. Sungguh berat sekali! Apalagi bila melihat senior-senior dengan lancar memegang microphone, lanyah, mendaras Al Quran sendirian disimak oleh orang banyak. Duh, kok, ya, sulit, ya, murajaah atau nderes itu? Nah, sob, berikut kisah inspiratif agar tak terlalu sepaneng memikirkan murajaah. Yang penting murjaahnya, bukan memikirkannya. Redaksi.
Keramat Al Quran itu ada di istiqamahnya. Nikmat dan kelezatan Al Quran, ada pada lanyahnya.
Dulu, saya pernah ada di posisi berantakan dan hapalan yang amburadul. Lebih parahnya lagi, hal itu berlangsung bertahun-tahun lamanya.
Bermula dari kurang bisa mengatur waktu, kurangnya pemahaman tata cara murajaah yang tepat, bertambah kesibukan mencari nafkah, dan puncaknya merasa ‘seolah’ nggak punya waktu lagi untuk murajaah.
Berawal dari itu semua, membuat hati saya pun galau, gundah, pikiran kacau. Parahnya hati mudah stres dan berimbas pada pekerjaan sehari-hari yang makin susah terkontrol, ekonomi terasa sulit, seret, lama-lama menimbulkan konflik batin. Makin lama konflik keluarga, dan sederet permasalahan lain bersambung-sambung. Komplit pokoknya!
Makanya, sangat tepat jika ada pengendikan ulama, “Jika kau ingkin membenahi hidupmu, maka benahi dulu hapalanmu.” Nah, kira-kira begitu.
Dan, itu benar-benar sungguh terjadi pada hidup saya. Saat hapalan saya berantakan, hati jadi galau dan stres; imbasnya hidup terasa kacau dan berantakan pula.
Bahkan, sempat terpikir, saya yang hapal Quran, kenapa hidup terasa sangat berat?Seolah berkah terasa sangat sulit diraih, sedangkan mereka yang sepertinya biasa-biasa saja tapi hidupnya “masyaallah” begitu indahnya.
Saya pun baru sadar ketika mendengar langsung pengendikan Rama Kiai Ulil Albab Arwani, bahwa berkah Al Quran itu ada pada hatamnya, meskipun hatamnya sebulan sekali, dua bulan sekali, atau bahkan walau hanya setengah tahun sekali.
Saya tersadar selama ini murajaah nggak pernah hatam. Nderesnya hanya mengulang-ulang saja. Saya berpikir yang penting nderes, mengejar lanyah. Saat nderes juz-juz awal misalnya, ya sampai berbulan-bulan lamanya. Juz awal terus sampai berbulan lamanya! Saat nderes juz belakang, ya itu-itu saja nderesnya. Jadi, hampir benar-benar nggak pernah hatam.
Hingga ahirnya, saya berpikiran “nyekel Quran kaya nyekel welut. Cekel ngarep, mburi mobat mabit. Cekel mburi, ngarep mobat mabit! Hehehe.
Ya, karena itu tadi, saya belum memahami; bagaimana tata cara murajaah yang tepat, sehingga meskipun nderes tiap hari tapi seolah berkahnya sulit tercapai.
Ternyata, itulah kuncinya, kita harus istiqamah menghatamkan. Bagi kita penghapal Al Quran, afdholnya sehari minimal dua juz, nggih? Jadi, satu bulan minimal hatam dua kali.
Syukur-syukur kuat tiga juz atau lima juz seperti lampahanipun Umi Maftuhah sangking Pati, atau “fami bisyauqin” lampahanipun Umi Hanah Zamzami.
Kaifiyahnya boleh bi al nadri, boleh bi al ghaib, boleh bil nglirik, boleh bil ngintip. Pokoknya, sesuaikan kemampuan mawon.
Kalau ada waktu senggang lain, gunakan untuk ndandani bi al tartil.
Kalau kita sudah istiqamah setiap hari, mengatamkan seminggu sekali, sepuluh hari sekali, setengah bulan sekali; oama kelamaan kita akan merasakan nikmat dan lezatnya nderes.
Kalau kita sudah merasa nikmat dan lezat saat nderes, bahkan mampu berjam-jam duduk nderes tanpa ngantuk, di situlah puncak kenikmatannya.
Hati lebih tertata, lebih kuat menghadapi masalah, sedikit mengeluh, lebih ikhlas menjalani takdir hidup kita tanpa iri pada hidup orang lain. Dan, seperti ngendikane Gus Baha’, kenikmatan tertinggi adalah saat kita bisa buta dan tuli dengan kenikmatan orang lain.
Semoga yang belum bisa istiqamah, segera diberi kekuatan untuk istiqamah. Istiqamah itu tanpa putus, tanpa alasan, dan tanpa ‘tapi’. Niatkan sampai maut menjemput!
Allahummarhamna bilquran.