Usaha paramusuh Islam, khususnya kitab suci Al Quran hingga kini tak pernah padam untuk menistakan dan menghancurkannya. Sejak masa Rasulullah saw hingga detik ini, usaha tersebut masih terus berlangsung. Mereka tidak akan rela Islam menjadi agama mayoritas di muka bumi. Jumlah umat Islam yang sekarang mendekati 2 miliar memang tidak main main. Dan, ke depan, kecenderungannya akan kian bertambah. Kaum mualaf semakin banyak. Mereka memilih masuk Islam rata rata karena Islam agama damai dan toleran. Fenomena mualaf inilah di antaranya yang membuat musuh musuh Islam dari mana pun terus berusaha untuk menghancurkan Islam dan umatnya, minimal membuat lemah dan tak berdaya.
Malangnya, banyak umat Islam bahkan tokoh tokohnya yang ikut menjadi kaki tangan musuh musuh Islam. Salah satunya adalah seorang tokoh Islam Liberal di Indonesia yang mengatakan, Al Quran tidak perlu lagi dihafalksn dan kita tidak membutuhkan parapenghafal Al Quran. Alasannya, sekarang sudah era digital di mana Al Quran dengan mudah bisa diakses oleh siapa pun dan di mana pun. Tidak sama dengan era Nabi Muhammad saw, katanya. Sekilas, kedengarannya logis alias masuk akal. Tapi, jika kita tinjau dari beragam sudut pandang, maka akan tampak alasan di atas lemah dan buruk.
Ada kesan kuat sang tokoh liberal tadi memandang remeh aktivitas menghafal Al Quran dan menganggapnya sekadar pengisi waktu luang saja. Artinya, menghafal Al Quran sama dengan aktivitas aktivitas kaum pengangguran lainnya. Pun, kegiatan menghafal Al Quran dianggap urusan teknis dan bukan sebuah prestasi yang membanggakan. Ini pikiran yang buruk dan harus kita tepis, karena tidak benar.
Siapa pun orang yang menghafal Al Quran, dia pasti tidak mau berhenti sampai di situ saja. Setelah seseorang menjadi Hafidh/Hafidhah, maka langkah selanjutnya adalah memahami dan terus mengamalkannya dalam kehidupan sehari hari sesuai kemampuan masing masing. Makanya, almarhum Hadratussyekh KHM Yusuf Masyhar rahimahullah, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng, Jombang, membuat prinsip kuat bagi parasantri dengan ungkapan: Hamilul Quran, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan. Maksudnya, menjadi seorang pemandu Al Quran, hafal teksnya, paham maknanya, dan mau mengamalkannya dalam kehidupan sehari hari. Cita cita ini diperkuat lagi oleh Beliau ketika mewisuda parasantri tahfidh dengan melakukan baiat. Ada pun baiatnya adalah: Billahi baya’tu ‘alaa taqwallah. Billahi baya’tu ‘ala hifdhi kitaabillah, Billahi baya’tu ‘alassam’i watthaa’ah. Maksudnya, dengan nama Allah aku bersumpah untuk terus bertakwa kepada Allah, menjaga kitab suci-Nya, dan senantiasa tunduk patuh kepada-Nya.