Banjar memiliki sejarah panjang yang mengagumkan. Organisasi besar NU sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pernah melakukan Muktamar pada 1936 yang turut menentukan konsep bernegara bagi suku-bangsa Indonesia selanjutnya. Demikian, Banjar memiliki peranan dan posisi sangat penting untuk menjadi pijakan berbangsa dan bernegara bagi suku-bangsa Indonesia. Dan, bukan dari Batavia sebagai pusat kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda saat itu. Syekh Muhammad Nafis adalah salah satu nama dari ulama ulama “beken” pada zamannya, selain Syekh Arsyad Al Banjari, dan terakhir Tuan Guru Zaini “Sakumpul” bin Abdul Ghani, wali masyhur zaman Orde Baru.
(Redaksi).
Syekh Muhammad Nafis Al Banjari rahimahullah adalah salah seorang ulama besar yang kapasitas keilmuannya telah diakui oleh paraulama dan umat Islam. Nama beliau harum bukan saja di Nusantara, melainkan sampai ke segenap penjuru dunia Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Tentu popularitas beliau ini diperoleh beliau lantaran luas dan dalamnya ilmu beliau, terutama di bidang ilmu tauhid.
Ulama sufi yang diyakini para ulama dan masyarakat sebagai waliyullah ini dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, sekitar tahun 1735 M. Beliau hidup sezaman dengan ulama besar yang bernama Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari rahimahullah yang lebih dikenal dengan sebutan Datu Kalampayan yang memiliki keturunan masyhur bernama Syekh Zaini bin Abdul Ghani atau lebih akrab dipanggil Abah Guru Sekumpul, seorang wali besar yang berkahnya masih bisa dirasakan oleh umat Islam hingga ke penjuru dunia Islam. Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pula, ulama yang secara “previllage” mendapat hadiah tanah perdikan bebas pajak untuk mendirikan pesantren dari Sultan Banjar kala itu, seusai beliau masyhur di Mekah dan pulang ke Tanah Banjar.
Syekh Muhammad Nafis rahimahullah bukan saja ulama yang luas dan dalam ilmunya. Beliau juga pejuang yang aktif melawan Belanda. Itulah mengapa keberadaan beliau selalu diawasi oleh rezim Pemerintah Hindia Belanda. Kitab beliau yang berjudul Al Durrunnafis (Mutiara yang Indah) dilarang oleh Pemerintah Belanda untuk diajarkan. Kenapa? Karena kitab ini mengandung ajaran tauhid yang kalau telah tertanam di lubukhati umat Islam, maka mereka pasti memiliki iman yang kuat dan mental yang tangguh, sehingga umat tidak takut lagi kepada pihak Belanda. Dan, umat hanya takut kepada Allah swt.
Syekh Muhammad Nafis Al Banjari rahimahullah adalah salah seorang murid dari waliyullah besar Syekh Muhammad Samman Al Madani yang rajin berdakwah di wilayah Kalimantan Selatan. Beliau tidak hanya berdakwah di Tanah Banjar, melainkan juga sampai ke Sumatera dan Malaysia. Namanya dikenang dan murid muridnya tersebar. Karena sibuk mengajar dan berdakwah, Syekh Muhammad Nafis Al Banjari rahimahullah tidak banyak menulis. Hanya ada dua kitab yang beliau karang, yakni kitab Kanzus Sa’adah yang berisi tentang istilah istilah tasawuf, dan kitab Al Durrunnafis yang berisi tentang ilmu tauhid. Kitab yang akan kita bahas semampunya secara ringkas.
Secara nasab, Syekh Muhammad Nafis rahimahullah merupakan zuriat Sultan Suriansyah (Sultan Banjar) yang wafat sekitar tahun 1812 M dan dimakamkan di Maharkuning, Desa Binturu, Kecamatan Kelua, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Hingga kini, makam beliau terus diziarahi oleh umat Islam, bahkan dari negara Jiran, Malaysia.