Membaca dari Sudut Penikmat
Sebagai orang awam, tidak memerlukan banyak teori untuk membaca sebuah puisi atau kumpulan puisi (antologi). Yang dibutuhkan hanya sekadar kepekaan batin untuk lebih dekat menjadikannya bacaan rutin. Meskipun, tidak mengerti arti dan keindahannya. Katanya, semakin sulit dimengerti, semakin indah sebuah puisi. Yang penting adalah lagu dan iramanya. Tidak perlu terlalu jauh tahu tentang isi dan maknanya. Toh, lagu apalagi sebuah puisi memiliki posisi dan tempatnya sendiri.
Bagi penikmat, tidak perlu ambil pusing baik buruk, yang penting dapat diulang seperti mantra dan doa. Yang dibaca berulang ulang hingga hapal dan bisa diiramakan.
Sisi Sisi Tersembunyi
Sekejap, pembaca akan dibawa larut oleh perjalanan seorang anak Adam pada bagian benua lain seperti Che Guevara atau pada masa lalu pejuang seperti Tan Malaka. Perjuangan untuk sebuah ideologi penegakan negara. Negara butuh ideologi untuk menjalankan fungsi fungsi mekanismenya. Tanpa ideologi, negara bukanlah apa apa. Sehingga setiap orang dan kelompoknya masih mendambakan sebuah ideologi yang dipandang masih jauh lebih baik menurut mereka dan selera mereka.
Di antara puisi puisi Hasyim Wahid (Gus Im) sempat terbukukan sendiri olehnya dengan judul “Bunglon”. Yang barangkali belum menjadi inspirasi bagi sahabat sahabat atau keluarga dekatnya untuk mencari lebih. Keintiman belum memberi inspirasi apalagi di zaman yang kian dituntut atas nama untung rugi. Namun, kemandirian seorang puisiwan seperti Gus Im adalah independensi dari sikap terhadap realitas. Menjaga jarak meskipun dengan kata kata yang lebih vulgar bagi putera seorang kiai. Puisi hanyalah sarana dan wahana dalam mengungkapkan isi kebatinan seseorang dengan menjauhkan sedini mungkin keindahan keindahan kata dan maknanya. Toh, keindahan keindahan itu bisa diciptakan oleh sejarah, manakala sebuah kata kata sampah dapat menguak dan menggambarkan situasi sosial dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Dapat disimak beberapa penggalan kata yang tak termuat utuh;
(kalau saja aku bisa menjarah
rumah-rumah mewah itu, aku akan belikan untukmu
mobil Jaguar sewarna kutang dan celana dalammu)
—————–
Kau tersenyum mendengar bualanku
kemudian kita bersenggama 90 menit
(+30 menit waktu ekstra) bagai
pertandingan sepakbola kelas dunia
dan esok di pagi hari aku akan dengar
kau nyanyikan hymne sambil gosok gigi:
Bagimu negri jiwa raga kami…
Selayaknya, puisi dibunyikan seperti milik Remy Sylado yang susah dimengerti pembacanya kalau tidak dibacakan. Begitu pula puisi puisi Sutardji Calzoum Bachri tidak dapat dimengerti tanpa mengerti akar akar mantra di negeri Melayu. Mantra masih asing bagi telinga orang Jakarta kecuali wirid wirid dalam ritual.
Puisi puisi Hasyim Wahid tidak demikian. Cukup lugas, tangkas, dan mudah dimengerti. Apalagi ditulis dari zaman yang dekat, tidak sejauh masa Hamzah Fansuri. Apa yang terungkap secara implisit dari puisi puisi Hasyim Wahid adalah kini dan di sini yang barangkali masih akan ada hingga seratus tahun kedepan. Sebagaimana diungkapkannya dalam puisi “Pembicaraan Rahasia”.
Baiklah!
Jika begitu
pada tarikan napas terakhir
aku akan lakukan satu kebaikan.
Aku akan berdoa:
Tuhanku
Berkatilah
generasi penerus negeri ini
sesungguhnya
merekalah pewaris utang negara!
Depok, 22 Maret 2023.