Meskipun bersifat dikotomik, pada hakikatnya, keilmuan itu kembali kepada diri pribadi masing masing. Itulah genre yang sesungguhnya. Ketika genuisitas dan otentisitas dimiliki oleh sidik jari dan garis tangan yang dimiliki. Gambaran Buya Syakur dan Buya Husein sebagai tipikal intelektual Timur dan Barat hanya simbolik saja, karena secara diametral keduanya tampak baik baik saja dan rukun rukun saja. Namun, dilihat dari latar belakang, meskipun keduanya pernah besar di majelis Babakan Ciwaringin, Buya Syakur pernah mesantren lama di Damaskus, Perancis, dan Inggris sementara Buya Husein sempat mengenyam pendidikan di Kairo, Mesir.
Sama sama lahir dari rahim pesantren dan menempuh masa remaja dan masa tua bersama adalah sesuatu. Tentu, secara intelektual, tidak sepenuhnya sependapat. Bahkan, meskipun pernah berada pada satu iklim intelektual yang sama. Kalau pun pergaulan dan pengalaman berikutnya berbeda tentu akan melahirkan juga perbedaan perbedaan. Hal itu lumrah.
Melihat dimensi Mekah-Madinah, akan dijumpai kapasitas intelektual yang berbeda. Demikian, ulama Ulum Al Quran membagi perbedaan perbedaan antara ayat ayat Makkiyah dan Madaniyah. Sentrum perbedaan antara yang “terpusat” dan “pinggiran”. Tak dapat ditolak kalau Kota Mekah adalah pusat, kiblat bersama. Dan, sudah diabadikan di dalam Al Quran: Mekah adalah ruman antik (bait al atiq). namun, perjalanan sejarah Rasulullah Saw di Madinah dan mendirikan peradaban sendiri adalah juga sesuatu. Mengapa Rasulullah Saw lebih memilih Madinah yang pinggiran dan tidak memilih Kota Mekah sebagai pusatnya dan jelas jelas telah mendapat legitimasi dari Al Quran?
Ini penting bagi pemerhati sejarah muslim. Karena, alasan historis. Entah, disengaja atau tidak?
Bagi kaum muslimin kebanyakan tentu karena alasan wahyu. Perintah wahyu agar Nabi MUhammad Saw mendirikan peradaban di Madinah. Tidak di Mekah.
Awal Timur dan Barat menurut dikotomi sejarah intelektual tidak memiliki batas yang jelas. Sering Timur dikatakan sebagai suku-bangsa India, China, dan Indonesia sekarang. Sering pula, Barat dikatakan Eropa dan Amerika sekarang.
Kata Timur (Masyriq) dan Barat (Maghrib), tidak kurang dari 13 kali disebutkan di dalam Al Quran. Sehingga dengan sendirinya memiliki makna yang luas. Tidak sebatas hanya persoalan geografis. Demikian, menurut KH Nasaruddin Umar.
Namun, dalam koteks Buya Syakur dan Buya Husein sebagai tipikal intelektual Timur dan Barat, keduanya memiliki tradisi berpikir yang berbeda sesuai dengan kapasitas genre atau genuisitas keduanya. Sehingga dalam posisi ini, tidak dapat diklaim siapa yang lebih alim atau siapa yang lebih banyak hafal hadisnya, melainkan benar benar iklim intelektual yang membesarkan mereka. Buya Syakur akan sangat kental dengan pemikiran pemikiran historis yang dibawa oleh Bani Umaiyah dari Madinah ke Damaskus. Begitu pula, Buya Husein akan lebih akrab dengan tradisi Ahlul Bait yang berkembang dan dibawa oleh Bani Abbasiyah dari Mekah ke Baghdad, lalu ke Mesir. Sebagaimana peradaban Bani Fathimiyah sempat berkembang pula di Mesir. Ini iklim intelektual yang membentuk, meskipun pada praktiknya seorang ulama memerlukan data data akurat dan kecenderungan kecenderungan tertentu.
Dengan demikian, Buya Syakur dan Buya Husein sebagai tipikal intelektual Timur dan Barat memerlukan elaborasi lebih jauh, terutama pada sidik jari dan garis tangan masing masing.
Kebumen, 11 Januari 2023.