Nilai nilai kemanusiaan bersifat universal, lintas batas negara, suku-bangsa, dan agama. Untuk menuai nilai nilai kemanusiaan tersebut, Indonesia masih memerlukan nafas panjang sebelum benar benar siap menjadi suku-bangsa yang berkemanusiaan.
August Strindberg (1849–1912) adalah seorang pengarang, dramatis, dan pelukis Swedia. Dia memiliki kepandaian dan bakat melebihi perkiraan pengamat dan orang banyak. Lebih dari itu, dia dikenal sebagai pengarang terpenting Swedia. Dari olah jiwanya, Strindberg dikenal sebagai seorang bapak teater modern. Karya karyanya tergolong dalam dua aliran sastra utama: Naturalisme dan Ekspresionisme. Demikian, dalam pandangan umum, Strindberg adalah seorang misoginis, pembenci kaum perempuan. Namun, yang sering dilupakan: Strindberg adalah sosok yang berkelebat dalam kesunyian. Hal ini dapat dipahami secara simbolik, kalau dirinya sebenarnya adalah antirealitas seperti kebanyakan kaum sufi atau sophist.
Nalar batin yang dapat lebih jauh tersebut mampu diselami dengan baik oleh Stefan Danerek melaui karya novel pendek Strindberg, The Roofing Ceremony.
Menurut Danerek, The Roofing Ceremony, sebuah novel pendek yang memiliki nalar batin, yang begitu kuat dan penuh harapan. Sebuah novelia yang dapat merevisi pandangan sempit tentang August Strindberg. Novelia ini memiliki kekuatan batin yang tidak dapat direduksi dan kompleks, yang dapat dijumpai dalam The Death of Ivan Ilyich karya Tolstoy atau Krapp’s Last Tape karya Samuel Beckett misalnya. Diterbitkan di Swedia pada tahun 1906 dan belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, The Roofing Ceremony (Taklagsöl) merupakan sebuah drama kamar. Novelia yang bertutur dengan diksi diksi yang jarang digunakan oleh kalangan khalayak tentang seorang pria yang sekarat. Seorang penjelajah tetiba menjadi kurator museum, mengulas kehidupan dirinya yang penuh gejolak dengan keras saat dia masuk dan keluar dari tidur yang disebabkan oleh morfin.
Narasi prosa terakhir Strindberg, The Roofing Ceremony (Taklagsöl, 1907), ini mungkin berlatarkan sebuah kamar tidur apartemen di Stockholm, tetapi bercerita pula tentang kisah kolonialisme dan penjelajahan brutal di Kongo (Belgia), termasuk mengungkap partisipasi Swedia dalam paradigma kolonialisme.
Memang, nilai nilai modernitas dan moderasi di Indonesia masih berjalan megap megap. Entah, sampai kapan? Indonesia laksana anak muda kurus dan berkelopak cekung seperti Swedia dalam gambaran Strindberg pada masanya. Ketika Revolusi Industri dan Perang Dunia Pertama (1914-1918) mengancam krisis kemanusiaan di Eropa, sebelum akhirnya Strindberg sempat menyaksikannya. Kamar yang penuh asap morfin. Dan, Indonesia masih perlu banyak menerjemahkan nilai nilai kemanusiaan itu ke dalam dirinya dalam menyikapi industrialisme yang gagal menciptakan nilai nilai kemanusiaan di Eropa pada masa Strindberg.