Disarikan dari “Pemikiran Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dalam Kajian Kontekstualisasi Tafsir Kebangsaan” oleh Dr. KHA Musta’in Syafi’ie, M.Ag.
Sayyidah Fatimah Radliyallahu anha, puteri Hadraturrasul Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallama, tak pernah memanggil Rasul dengan panggilan bapak atau ayah, tapi beliau memanggil puterinya dengan panggilan “Ya Rasulallah”. Demikian pula, yang dilakukan oleh istri istri Rasul Saw. “Ya Rasulallah”.
Dalil sikap ini adalah ayat Al Quran;
ما كان محمد أبا احد من رجالكم، ولكن رسول الله وخاتم النبيين.. (الأحزاب ٤٠)
“Rasul Muhammad bukanlah bapak dari salah satu kalian, tapi beliau adalah Rasulallah dan khatamunnabiyyin.”
Lewat ayat ini, KHA Musta’in menganjurkan santri Tebuireng tak memanggil Hadratussyekh dengan panggilan “Mbah Hasyim”.
Kitab العناية في القرأن الكريم mencatat: bila Hadratussyekh adalah Hamilul Quran (Dalam catatan redaksi, guru Al Quran Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari adalah KH Ali Hafidh Demak). Dirunut runut, paduan pemikiran Hadratussyekh sangat padu dengan Al Quran.
Hadratussyekh menyuarakn Resolusi Jihad berdasarkan ayat Al Quran. Ratu Balqis meminta pendapat pada para menterinya, “Kita diintervensi Sulaiman, apa yang kita lakukan? Manut atau perang?”
إن الملوك إذا دخلوا قرية أفسدوها وجعلوا أعزة أهلها أذلة
“Raja, pasukan, klo sdh agresi, pasti merusakn dan merendahkan penduduk sipil.”
Hadrotus Syaikh mentasybihkan ayat ini dg perinth jihad. Belanda bila dibiarkan, pasti أفسدوها dan وجعلوا أعزة أهلها اذلة. Qiyas ini tak cacat sbb ilat ayat bukan dalih teoligis namun dalih kemaslahatan.
Resolusi jihad ini dilengkapi Hadraturrasul dengan (lagi lagil mengqiyaskan hal yg tak lumrah. “Masafatul Qasr” yang biasanya dipakai untuk rukhsah ibadah, dipakai untuk kewajiban perang. Siapapun yang berada dalam radius “masafatul qasr” berarti ia dianggap hadhar, wajib perang!
Gagasan qiyas “masafatul qasr” untuk jihad ini pernah dipertanyakan oleh K.H. Masyhudi, Madiun; “Yai, apakah semua santri wajib ikut perang, tidak semua santri datamg ke pondok dengan tujuan berperang?” Lalu, KH. Masyhudi menyitir ayat;
فلولا نفر من كل فرقة طائفة ليتفقوا في الدين….
Hadratussyekh menjawab, “Nafara ini diberhentikan untuk sementara. Sak iki jihad e perang!” Hadratussyekh memperkuat jawabannya dengan pendapat Imam Al Bukhari rahimahullah.
Tak cukup di situ, Hadratussyekh juga mendoakan ulama dan umat Islam agar terbangun dari tidurnya, zona nyamannya, agar mau berperang melawan penjajah.
اللهم أَيْقِظْ قُلُوْبَ الْعُلَمَاءِ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْ نَوْمِ غَفْلَتِهِمِ الْعَمِيْقِ وَاهْدِهِمْ إِلَى سَبِيْلِ الرَّشَادِ.
Sak iki, anggota IKAPETE yang tak mau berjuang di masyarakat, leren o ae dadi anggota IKAPETE!
Terakhir, ada cerita riwayat Gus Riza. Hadratussyekh pernah mewakafkan tanahnya di Jombok agar dibangun menjadi pasar. Ide brilian ini muncul dari ayat ayat al Quran, mari shalat, ekonomi, mari نودي للصلاة, dilanjut فانتشروا في الأرض. “La lek masjid tok, wetenge luweh, iso a gae mangan?”
Ide brilian ini juga tak lepas dari penguasaan beliau akan hadis Nabawi. Tercatat, Hadraturrasul pernah membangun “suuqul anshor”, pasarnya orang Anshor, di samping Masjid Nabawi. Rasul juga mengontrol langsung pasar pasar itu agar tak terjadi monopoli. Orang Arab melanjutkan ini. Di samping Masjidil Haram, ada pasar. Di samping masjid di Al Azhar, juga ada pasar.
Cenderung jor joran bangun masjid dan lupa sosial ini sudah pernah terjadi di zaman Imam Al Ghazali rahimahullah. Beliau marah dan berkata;
لقمة في بطن جائع خير من بناء ألف مسجد
“Satu suapan dalam perut orang yang lapar lebih baik daripada membangun 1000 masjid.”