Di tengah ancaman krisis ekonomi dunia saat ini, ketika hampir setiap orang kebingungan berbicara duit, Yudi Antono seolah mendapat keberkahan duren runtuh. Karena, lukisan Habib Luthfi laku dijual ratusan juta.
Pelukis otodidak yang sudah banyak melahirkan banyak karya ini merasa bukan semata anugerah saja yang diterimanya, namun karena rasa syukur dan kerendahan hati (tawadu) yang secara terus menerus dipupuk di dalam menjalani kehidupan seorang sufi.
Yudi Antono menyadari setiap orang memiliki kekurangan, dirinya belum sepantas ulama ulama besar yang penuh keikhlasan dalam menggapai rida Ilahi. Tapi, dengan meneladani mereka, Yudi berharap dapat meniru langkah langkah jalan sufi itu, meskipun tidak sehebat mereka dalam mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Taala.
Pelukis realis ini mengaku: lukisan Habib Luthfi laku dijual ratusan juta karena tidak ada niatan komersial sama sekali. Tetapi, karena rasa cintanya kepada para ulama, terutama ulama sufi. Kalaupun kemudian ada muhibbin Habib Luthfi bin Yahya yang menyukai lukisannya yang berukuran 2 meter x 1,5 meter tersebut, lalu laku dengan harga ratusan juta rupiah, itu lain hal. Mungkin, dari rasa cinta itu sehingga menghasilkan keberkahan tersendiri baginya. Karena, dia yakin, lukisan itu bisa saja hidup di dalam sanubari sang muhibbin, termasuk dirinya.
Barangkali, orang awam tidak percaya kalau lukisan Habib Luthfi laku dijual ratusan juta. Selama ini, pelukis pelukis yang memiliki patokan harga sedemikian tinggi adalah yang sudah punya nama besar sekaliber Affandi, Picasso, dan lain lain. Mereka sudah melanglang buana dikenal dunia. Tapi, tidak bagi Yudi. Kehadiran Habib Luthfi bin Yahya di dalam lukisannya adalah gambaran upaya mencintai itu tidak mudah. Perjalanannya dari Situbondo, tempat lahirnya, ke Yogya, menjadi kuli di Arab Saudi, kemudian menjadi pelukis bayaran di Samarinda adalah proses mencintai yang harus dijalaninya. Karena, sangat sulit ketika bertanya : mengapa harus mencinta?
Memupuk Rasa Cinta
Tersebab, sudah terlalu banyak jalan mencintai yang ditempuh, tapi Tuhan memiliki cara sendiri untuk menemui cintaNya. Salah satunya adalah dengan mengenal orang orang yang dekat kepadaNya.
Karya lukisan ini didesain untuk Habib Luthfi bin Yahya dan Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda. Terinspirasi dari kampanye Habib Luthfi bin Yahya tentang mencintai tanah air dengan semangat patriot. Patriotisme Pangeran Diponegoro adalah cara terbaik di dalam menghadapi kezaliman dan keserakahan. Sebagaimana diketahui, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh Belanda bukan di gelanggang perang, melainkan dengan tipu muslihat dan menghancurkan umat-pengikutnya dengan candu atau Narkoba. Pasukan Pangeran Diponegoro tidak dikalahkan dengan spirit juang, melainkan dengan melemahkan mental mereka dengan Narkoba, uang, dan kenikmatan kenikmatan tubuh lainnya. Berangkat dari spirit demikian, Yudi Antono berharap akan menjadi suri teladan generasi bangsa: kalau kekalahan lebih disebabkan oleh kenikmatan kenikmatan yang sering membuat lena. Kenikmatan kenikmatan ragawi yang menyurutkan semangat juang di dalam memerangi hawa nafsu. Dengan lukisan Habib Luthfi bin Yahya dan Pangeran Diponegoro tersebut, Yudi berharap dapat menjadi washilah (perantara) rasa cintanya kepada Allah Taala yang telah mengirimkan orang orang terkasihnya. Wallahul musta’an.