Kalangan sejarawan Indonesia sering mengambil data data faktual dalam menyajikan narasi sejarahnya. Dengan kata lain, tidak ada sejarah tanpa disertai bukti tertulis, baik secara lengkap seperti babad babad dan serat serat maupun secara lebih singkat seperti prasasti prasasti. Namun demikian, Historiografi nir sistematika tasawuf dalam penelitian sejarah masuknya Islam akan sangat berakibat fatal dalam hasil yang dikonstruksikan atau dihistoriografikan.
Sistematika Tasawauf
Dalam penghayatan suatu agama, sesuatu yang mustahil tanpa melihat kehadiran elan vital atau semangat yang melatarinya. Termasuk, di dalamnya motif munculnya agama tersebut. Pada masa pra-Hindu (Syiwaisme, Buddhisme, Wisnuisme, ataupun Indraisme), sejarawan Indonesia sepakat: telah ada kepercayaan yang disebut anismisme dan dinamisme. Kepercayaan yang berhenti pada benda benda material seperti pohon pohon, sungai sungai, gunung gunung, atau benda benda pusaka lainnya. Hal ini wajar, karena penulis penulis Barat pada umumnya jarang mengungkap adanya kepercayaan di balik benda benda tersebut. Artinya, kepercayaan berhenti pada benda benda yang dijadikan tujuan penyembahan tersebut. Padahal, masyarakat Nusantara sudah memiliki pemahaman tentang yang tidak terbatas atau yang tak terpikirkan di balik adanya benda tersebut, yaitu Sang Hyang Taya. Sehingga orientasi penulisan penulisan sejarah yang dipelopori oleh sarjana sarjana Barat senantiasa menulis dengan historiografi nir sistematika tasawuf. Dengan kata lain, ketika menulis sejarah masyarakat Nusantara yang dilihat adalah fakta fakta berupa benda yang ditinggalkan.
Pentingnya Tasawuf
Tasawuf atau lebih gampang dipahami adalah unsur esoteris atau unsur dalam yang dimiliki dan diyakini seseorang dan masyarakatnya. Tasawuf adalah unsur laku yang dijalani oleh seseorang dan masyarakatnya dalam bentuk ideologi. Misal, seseorang dan masyarakatnya menjalani upacara labuhan laut, sedekah laut, karena didorong oleh kepercayaan adanya Sang Hyang Taya di laut. Penguasa yang tidak dapat digambarkan kebesarannya. Kepercayaan tersebut menjadi kolektif manakala dijalani secara sakral dan bersama sama. Historiografi nir sistematika tasawuf akan memandang tindakan tindakan dan perbuatan tersebut dianggap dan dipandang sebagai kepercayaan di luar agama tertentu karena di luar jangkauan jangkauan literasi agama. Padahal, kepercayaan atau keyakinan ideologis tersebutlah yang menyebabkan suatu tindakan menjadi ada.
Contoh ini menjadi urgen, ketika di dalam menghadirkan kata “Bra i Wijaya” misalnya. Tokoh Brawijaya dianggap tidak pernah ada di dalam historiografi model demikian, karena tidak terdapat, baik di dalam prasasti prasasti maupun bukti bukti tertulis yang sezaman. Karena, tidak ada bukti secara fisik, maka tidak dikatakan sebagai sosok sejarah. Brawijaya atau Bra i Wijaya, raja yang berkuasa dengan kejayaan, tidak pernah dianggap ada menurut pemahaman historiografi Barat. Padahal, hal ini akan bertentangan dengan historiografi dan sistematika dengan pendekatan tasawuf.
Kata “Bra” merupakan singkatan dari “Bhattara” atau avatar, sosok yang sudah mencapai taraf kesalehan individu dalam kepercayaan agama tertentu. Kalangan Islam lebih akrab menyebutnya dengan kata “wali” atau orang Barat sendiri menyebutnya sebagai “the saints” atau santo yang berarti orang suci. Jadi, takaran sejarahnya adalah orang suci tersebut atau di dalam Islam orang yang sudah sangat dekat kepada Allah Taala. Dengan kata lain, tidak sulit untuk menghadirkan Brawijaya sebagai sosok hidtoris, sosok yang menyejarah. Meskipun, dalam tataran dan anggapan yang berbeda di antara masing masing masing agama. Sebagaimana Syiwa bukanlah sebagai sosok Tuhan yang hadir di muka bumi, melainkan sosok manusia biasa yang sudah mencapai tahap keruhanian yang mendekati sifat sifat ketuhanan.
Dengan demikian, memahami historiografi di luar dari koridor unsur unsur esoterik ini, maka hanya akan didapatkan suatu pemahaman yang penuh dengan polemik saja.