Sejauh ini, tafsir lebih banyak disajikan ke dalam bentuk bentuk teoretik daripada tafsir itu sendiri. Meskipun, wacana wacana yang dikembangkan oleh umat Islam tidak lepas dari sebuah penafsiran sebagai khutbah khutbah, pidato pidato, maupun makalah makalah. Oleh karena itu, tafsir Al Quran dalam upaya pengayaan fakta setidaknya dapat mengurangi kekhawatiran seorang dai dalam menyampaikan pesan pesan dakwahnya.
Sejauh ini pula, tafsir sebagaimana dipahami oleh segenap umat Islam merupakan upaya memaknai Al Quran yang diperkuat dengan disiplin ilmu ilmu tertentu seperti bahasa, sejarah, dan susastra. Dari aspek bahasa ini, tafsir Al Quran dalam upaya pengayaan fakta tidak jarang telah terjadi kekeliruan makna (deviasi) dari makna asalnya. Padahal, hampir setiap hari, baik dalam forum forum formal maupun informal, tafsir senantiasa diproduksi.
Mengisi Ruang Kosong Sejarah Penafsiran
Memahami sebuah kata adalah makna masih sulit diterima oleh kalangan sejarawan, karena sering berorientasi kepada penfasiran yang bersifat konservatif. Tidak ada fisik, maka tidak ada sejarah. Tafsir Al Quran dalam upaya pengayaan fakta sebenarnya dapat dipandang: kata sebagai sebuah fakta, meskipun kata itu hanya berbentuk lisan dan tidak tertulis.
Imajinasi kolektif yang dikurung di dalam ruang dan waktu tertentu akan menjadi sebuah novum baru atau fakta baru dalam sebuah penafsiran. Misal, seorang sarjana yang hendak membuat sebuah kamus bahasa lokal tertentu, jauh jauh dari Eropa, dia memungut satu per satu ujaran yang berlangsung dalam sebuah komunitas lokal tersebut. Barulah, setelah tersusun rapi ke dalam bentuk bentuk susunan tabel abjad beserta pengertian pengertian secukupnya baru bisa dikatakan sebagai langkah awal sebuah penafsiran. Padahal, sebelumnya belum ada satu pun teks teks yang menulis tentang kosakata bahasa lokal tersebut.
Hal inilah sebenarnya yang dapat mendorong perkembangan ilmu dan bahasa tafsir menjadi jauh lebih berkembang dengan tanpa keterlibatan teoretik yang njelimet. Langkah langkah awal penafsiran ini jarang terjadi. Kebanyakan, seorang mufasir sudah terdisiplin ke dalam sebuah kerangka berpikir: dirinya harus menafsir dengan segenap kemampuan dan perangkat perangkat yang sudah dimilikinya, baik berupaka ilmu ilmu bahasa, sejarah, maupun susastra. Padahal, secara faktual, dapat dibuat sebuah kamus besar yang dapat memetakan sekaligus mendokumentasikan pemaknaan kata oleh seorang mufasir dari zaman ke zaman sehingga dapat dilihat kebenaran faktanya sekaligus memotret deviasi deviasi yang terjadi. Dengan kata lain, tafsir Al Quran dalam upaya pengayaan fakta bagaimana pun bentuknya masih tetap diperlukan guna langkah langkah verifikatif penfasiran penafsiran berikutnya.