Sedikit tapi mengena. Buya Husein Muhammad mengemukakan perlunya kerja kerja penerjemahan. Karena, dengan kerja kerja penerjemahan tersebut pengetahuan dan budaya dapat cepat berkembang. Hal ini sering terjadi di belantara peradaban di dunia di mana pun. Keprihatinan Buya Husein Muhammad pada aspek budaya ini bukan tanpa alasan. Sebab, peradaban peradaban besar rerata banyak menyerap dari budaya budaya luar. Tentu, melalui proses proses yang sudah disaring dan dimodifikasi disesuaikan dengan budaya setempat.
Ulama sebagai Proyektor Budaya
Di dalam tradisi intelektual Kaum Muslimin, budaya literasi (Bayani) begitu sangat dominan. Sehingga meminjam ungkapan Nasr Hamid Abu Zaid, budaya kaum muslim telah dibentuk oleh teks, meskipun bukan berarti teks tersebut yang membentuk budaya dan peradaban. Melainkan, interaksi secara terus menerus antara kaum muslimin dan teks tersebut sehingga bisa memproyeksikan budaya.
Kuatnya tradisi literasi di kalangan ulama dapat ditunjukkan dengan upaya upaya transmisi penyalinan naskah secara lengkap. Mengutip sumber asli dengan apa adanya, tanpa diringkas. Misal, seorang santri yang hendak menyelesaikan program Qiraah Sab’ah, ia harus menulis ulang kitab yang sudah disusun oleh K.H. Arwani Amin Kudus. Baru, selanjutnya disetorkan secara lisan dan hafalan kepada guru yang berkompeten. Proses transmisi demikian akan terus berlanjut dan berkembang sejalan ditemukan realitas realitas baru. Sehingga ada dialektika tersendiri antara subjek dan objek.
Pada titik ini, seorang muslim dituntut untuk memproyeksikan lagi dari hasil yang sudah didapatnya. Sejatinya demikian. Sehingga langkah langkah proyeksi tersebut kemudian menjadikan dirinya sebagai kreator dan proyektor budaya sebagaimana ulama ulama terdahulu yang mencerminkan zamannya. Dengan kata lain, begitu banyak ulama ulama yang berhasil memproyeksikan diri telah berhasil menangkap realitas zamannya yang memiliki otentisitas pada zamannya sendiri.
Dengan demikian, fungsi seorang ulama pada zamannya tidak hanya sekadar menghadirkan dan mengulang ulang yang sudah dipelajarinya, melainkan lebih jauh turut menerjemahkan ide ide yang melangit hingga membumi. Keprihatinan Buya Husein Muhammad pada aspek budaya ini dapat dimengerti jika proses penerjemahan ini menjadi problem serius. Misal, ketika harus menerjemahkan teks teks berbahasa asli Jerman, China, Jepang, atau Rusia harus mencari teks teks terjemahan berbahasa Inggris terlebih dahulu. Hal ini pernah terjadi ketika HOS Tjokro Aminoto menerjemahkan tafsir The Holy Quran, ia tidak menerjemahkan dari teks aslinya, melainkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Dapat dibayangkan, berapa deviasi dan limitasi yang harus dilalui. Dan, perlu dipertanyakan, tugas apa yang sudah dilakukan oleh fakultas fakultas budaya Jerman, China, Jepang, dan Rusia di dalam memproyeksi terjemahan terjemahan teks berbahasa tutur asli?
Ulama Hidup dalam Ruang dan Waktu Tertentu
Proses penerjemahan jika diaplikasikan ke dalam mekanisme mekanisme keilmuan akan memiliki ekses dan dampak yang luas. Tidak hanya menemukan makna padanan dan memindahkan pengertian. Lebih jauh, pada proyeksi proyeksi praktis. Maka, keprihatinan Buya Husein Muhammad pada aspek budaya ini menjadi penting untuk dicermati. Misal, KHM Ahmad Sahal Mahfudz pernah menggagas perlunya pemahaman Mazhab Negara dalam sebuah tulisannya di Majalah Pesantren. Semua persoalan dan keputusan umat harus diselesaikan oleh negara. Itu intinya. Sehingga untuk legitimasi pernikahan, negara harus hadir. Begitu pula, penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal harus mengikuti “Mazhab Negara”.
Namun, perlu catatan tersendiri pada pendapat KHM Ahmad Sahal Mahfudz tersebut. Negara yang seperti apa? Dalam kondisi, ruang, dan waktu, KHM Ahmad Sahal Mahfudz bisa saja berpendapat demikian karena sistem negara dalam keadaan normal. Ketika negara dapat dikontrol, baik oleh lembaga tertinggi negara atau dari kalangan profesional dan organisasi organisasi yang berkompeten. Ketika negara dalam kondisi tak terkontrol atau sering disebut liberal, mungkinkah Mazhab Negara tersebut dapat berlaku efektif?
Belum lagi, pada kasus kasus yang lain. Seperti penghilangan hukuman qishas karena dipandang sudah menjadi bangsa yang beradab. Maka, tidak perlu lagi diberlakukan hukuman qishas. Secara tekstual, hukuman qishas termasuk jenis hukum yang sharih atau qath’i disebutkan dalam Al Quran. Selama masih tercantum di dalam Al Quran, hukuman qishas tersebut tidak dapat dihapus.
Namun, lagi lagi, perlu penerjemahan secara kontekstual. Untuk masyarakat Skandinavia, hukuman mati bisa dihapus, karena masyarakatnya sudah berbudaya. Sipir sipir penjara tidak perlu khawatir para terpidana akan melarikan diri sehingga tidak perlu dikunci rapat seperti di Indonesia. Dengan kata lain, faktor budaya juga perlu pertimbangan dalam menerjemahkan putusan putusan hukum.
Di Indonesia, hukuman mati masih diperlukan, karena aspek budaya masih perlu disegarkan kembali. Ulama boleh saja tidak setuju bukan semata karena pertimbangan tekstualitas Al Quran, melainkan lebih jauh pada pertimbangan budaya yang sudah dibangun. Begitu pula, pada kasus kasus yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang perlu menjadi perhatian para ulama ketika harus bersikap sebagai pertanggungjawaban kepada zaman.