Tradisi referal telah menjadi salah satu ciri suku-bangsa Arab karena memiliki ingatan yang kuat. Mereka bisa hafal silsilah nenek moyang hingga 100 generasi ke atas. Bahkan, sampai kepada Nabi Ismial As dan Nabi Ibrahim As. Dalam tradisi ilmiah, suku-bangsa Arab bisa mengutip tulisan berlembar lembar dari sumber referensi. Dari tradisi ini, Mazhab Syafi’i: dari Mekah, Baghdad, hingga ke Mesir dapat ditulis perkembangannya.
Terikat Epistemologi Masa Lalu (Sanad)
Sama seperti Imam Malik bin Anas, Imam Al Syafi’i terlahir pada masa generasi tabi’in. Generasi yang mengikuti tradisi sahabat Rasulullah Saw. Namun, seperti kekuasaan politik Sayiduna Marwan bin Hakam yang “menggendong” Mazhab Maliki ke Damaskus, maka Mazhab Syafi’i pun “digendong” oleh Ali bin Muhammad bin Abbas bin Adul Muthallib, pelopor berdirinya Dinasti Abbasiyah. Dari sini, dapat dirunut jalur Mazhab Syafi’i: dari Mekah, Baghdad, hingga ke Mesir.
Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah Saw telah melepas epistemologi (sanad) Bani Quraisy di Mekah, walaupun sanad itu tetap melekat pada dirinya. Di Madinah, Rasulullah Saw membangun peradaban dan konstruksi epistemologi dengan masyarakat lingkungannya, penduduk Madinah. Di Madinah, Rasulullah Saw membuat mekanisme hukum hukum yang bersifat kontrak sosial, di samping menyerap pengetahuan pengetahuan heterogen (Yahudi, Nasrani, dan Persia).
Setelah Perang Shiffin, antara Sayiduna Ali bin Abi Thalib dan Sayiduna Muawiyah bin Abi Sufyan, umat Islam terpecah ke dalam dua golongan. Golongan yang mematuhi daulah Bani Umaiyah di Damaskus dan golongan yang masih mengingat memori kekalahan Sayiduna Ali bin Abi Thalib yang diakhiri secara diplomatis dan politis. Golongan dari barisan Sayiduna Ali bin Thalib ini terpecah ke dalam banyak golongan, meskipun tetap dalam bendera Ahlul Bait. Mendaku sebagai keluarga keturunan Rasulullah Saw. Gerakan perlawanan terhadap Bani Umaiyah di Damaskus terus dikumandangkan melalui solidaritas Ahlul Bait tersebut yang dipelopori oleh Ibrahim bin Muhammad. Atas kerjasama dan strategi politik yang dijalankan oleh Abu Muslim dari Persia (Al Khurasani), perlawanan secara kolosal dapat dilakukan terhadap pemerintahan dahulah Bani Umaiyah hingga kemudian mendaulat Abu Al Abbas Al Sahffah (Ahlul Bait) untuk pertama kali sebagai khalifah di Kufah.
Adapun nama lengkap Abu Al Abbas Al Sahffah adalah Abu Al Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abd Al Muthallib.
Tradisi Referal
Tradisi referal atau referensial sangat terikat pada masa lalu. Tradisi ini sangat selektif dalam segi periwayatan. Dari segi keilmuan, masa lalu adalah otoritas. Meskipun Imam Al Syafi’I menimba ilmu kepada Imam Malik bin Anas di Madinah, namun bukan berarti ia mengikuti tradisi Madinah sebagaimana Imam Malik. Melalui tradisi referal (bersanad) yang satu jalur, nenek moyang, Imam Al Syafi’i meletakkan dan membangun tradisi referal ke dalam mazhabnya.
Bahwa Dinasti Abbasiyah dibangun oleh tiga unsur kebudayaan utama, Ahlul Bait, Arab anti-Mu’waiyah, dan Syiah, intelektualitas Timur (Masyriq) kian diperkuat oleh unsur kebatinan/intuisi melalui Imam Al Ghazali. Kedekatan Ahlul Bait dan Syiah telah membawa Imam Al Syafi’i ke ranah tuduhan politik sebagai bagian dari Syiah. Mazhab Syafi’i kian berkembang di Baghdad setelahnya melalui Imam Al Ghazali, Imam Al Bukhari, dan seterusnya.
Kondisi politik yang tidak kondusif di Baghdad telah membawa Imam Al Syafi’i hijrah ke Mesir. Di Mesir, Imam Al Syafi’i mengembangkan tradisi referal, walaupun Mazhab Maliki sempat berkembang di bawah daulah Dinasti Umaiyah di Damaskus. Tradisi referal ini telah menggambarkan kekuatan teks sebagai otoritas semakin kuat di kancah intelektual muslim. Kekuatan rasio hanya digunakan dan berfungsi sebagai “penyama” antara otoritas dan realitas melalui metode takhrij dan istinbath sehingga setiap ulama Al Syafi’iyah yang memiliki kualifikasinya dapat mengeluarkan pendapat masing masing sebagaimana karya karya sastra. Semangat investigasi dan observasi tidak sesemarak sebagaimana kalangan Mazhab Maliki. Pengetahuan direduksi ke dalam postulat (dalil) umum dan dicari kesamaan kesamaannya. Pengetahuan alam bawah sadar jauh lebih berperan daripada pembuktian pembuktian di lapangan. Pada fase Mesir ini, fiqh tidak lagi dipandang sebagai “cara pandang” umat Islam, tapi telah berubah menjadi hukum secara teknis, karena pengaruh dari hukum hukum birokrasi dan administrasi ala Romawi. Dengan kata lain, fiqh menjadi masalah yang sangat teknis.
Demikian, tradisi Mazhab Syafi’i: dari Mekah, Baghdad, hingga ke Mesir dapat berkembang dan menjadi salah satu penentu intelektual Kaum Muslimin.