Jauh-jauh hari, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid, 1940-2009) menyebut pesantren sebagai “subkultur”. Artinya, pesantren memiliki nomenklatur tersendiri sehingga membentuk miniatur budaya. Jadi, sebuah pesantren tidak bisa diibaratkan seperti sebuah lembaga pendidikan berasrama seperti “boarding school ” atau siswa yang diasramakan seperti lembaga-lembaga pendidikan khusus kepolisian, TNI, atau lembaga-lembaga pendidikan di bawah institusi lainnya. Meskipun, kecenderungan pesantren “modern” menempatkan sebuah pesantren berada di bawah sebuah yayasan.
Implikasi dari Sebuah Yayasan
Kehadiran yayasan ke dalam pesantren telah membawa implikasi tersendiri. Secara administratif, hal ini telah memperumit aktivitas dan budaya pesantren. Dari segi aktivitas, akan terjadi tumpang tindih antara pendidikan formal dan informal. Sementara, dari segi budaya, pola pendidikan dan pengajaran akan berjalan struktural. Karena, semua berjalan sesuai dengan struktur dan aturan formal, baik yang telah ditetapkan melalui Undang Undang Yayasan, maupun aturan-aturan lain semisal dari Kemendikbud, Kemenag, dan organisasi-organisasi afiliasi lainnya. Pola struktural ini mementingkan akuntabilitas dengan persyaratan-persyaratan administrasi dan akreditasi yang ketat. Belum lagi, jika ada kepentingan-kepentingan di luar kepentingan pondok pesantren itu sendiri. Maka, peran pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang independen akan terpasung pada pola-pola administratif.
Dengan demikian, pesantren pun terjebak pada tuntutan-tuntutan administratif daripada sebuah lembaga pendidikan yang memiliki ciri khusus “merdeka belajar”. Waktu akan dihabiskan pada tuntutan-tuntutan administratif tersebut, terutama pada akuntabilitas keuangan. Pesantren dengan yayasannya akan dituntut pada kerja-kerja organik selayak sekolah yang bersifat fakultatif.
Pesantren dan Dunia Genre
Bagi kalangan yang terdidik di sekolah akan beranggapan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan feodal. Orang yang berpandangan demikian memang memiliki cara pandang “otak feodal”. Sebelum berbicara pesantren, di dalam otaknya sudah tertanam sebuah “frame feodal”. Bagaimanapun isinya? Tidak peduli. Yang penting feodal!
Mendirikan pesantren tidak cukup setahun dua tahun, tetapi memerlukan waktu dan proses yang panjang. Karena, yang dibangun adalah subkultur. Sebuah pesantren akan mempersembahkan contoh yang baik bagi masyarakat di lingkungannya. Belum lagi, kredibilitas kepemimpinan kiai. Seseorang tidak bisa serta merta menjadi sosok figur yang dihormati untuk menjadi kiai tanpa melalui proses yang panjang. Hal ini tidak saja dipandang dari aspek ketokohan semata, melainkan juga teladan yang kompleks. Disertai pula, implikasi positif bagi masyarakat. Bagi tokoh yang tidak mampu memberi implikasi positif, otomatis, masyarakat akan menolaknya.
Dengan demikian, sebuah pesantren memiliki genre tersendiri dengan pengetahuan kognitifnya sendiri pula. Tidak semua pesantren bisa digeneralisir.
Tuduhan pesantren sebagai lembaga pendidikan feodal bukan perkara yang baru. Dalam Polemik Kebudayaan, kritik feodal ini sudah dilancarkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA), Bapak Sastrawan versi Sekolah. Kritik feodal STA ini kemudian ditanggapi serius oleh Ki Hajar Dewantara dan Dr Soetomo yang mengatakan: pesantren adalah lembaga pendidikan yang berkarakter.
Di samping itu, tuduhan feodal ini muncul dari kalangan sekolah yang mulai kehilangan kepercayaan diri, karena maraknya tawuran, gang motor, kenakalan remaja, pergaulan bebas, dan tidak memiliki cita-cita. Dus, politisi yang tidak memiliki basis massa dari pesantren.
Sementara pesantren dengan karakter terbuka, tidak berpikir fakultatif, dan terus merespon pembaharuan-pembaharuan. Pesantren kian menampakkan diri sebagai sebuah lembaga pendidikan yang memiliki masa depan dan mampu bersaing. Hal ini dibuktikan dengan kian bertambahnya jumlah pesantren di Indonesia. Dan, tidak sedikit lulusan-lulusan pesantren yang mampu hidup mandiri serta mampu memegang spesialisasi, baik itu di ranah organisasi, birokrasi pemerintahan, pengusaha, bahkan teknologi dan informasi.
Dengan kata lain, kompleksitas yang menimpa pesantren bukan sebuah akhir, bahkan awal untuk perbaikan. Baik formal maupun informal, pesantren tetap akan berdiri secara kultural. Diakui atau tidak oleh pemerintah.