Gresik-Net26.id Ada banyak cara untuk mendiskreditkan eksistensi pesantren. Lembaga pendidikan tertua yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Cara yang paling efektif untuk mendiskreditkan tersebut adalah dengan menyebarkan isu-isu pelecehan seksual dan feodal dengan tanpa melihat proses sejarah yang sedang berlangsung di pesantren itu sendiri.
Namun demikian, minat masyarakat terhadap pendidikan pesantren kian besar, meskipun terus diterpa isu-isu tak sedap yang dihembuskan oleh kalangan sekularis.
Fenomena ini wajar terjadi, karena pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (PHB), pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang mampu mengimbangi program-program kapitalisasi lembaga pendidikan melalui Undang Undang Ordonansi. Melalui Undang Undang tersebut, PHB coba mengontrol gerak pesantren sebagai lembaga yang mandiri, tidak mau menerima hutang atau bantuan dari PHB. Untuk menjaga eksistensi pesantren itu pula, tokoh-tokoh masyarakat yang disegani mendirikan organisasi kongsi dagang seperti Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dan KHA Wahab Chasbullah melalui Nahdlatut Tujjar di Surabaya, KH Ahmad Dahlan dengan Perserikatan Muhammadiyah di Yogyakarta, dan KH Samanhudi dengan Serikat Dagang Islam di Solo. Melalui serikat dagang ini (produksi dan industri), baik kalangan petani maupun pengrajin batik, dapat leluasa membiayai lembaga-lembaga pendidikan dan dakwah mereka, tanpa tergantung pada PHB.
Dengan demikian, gelora dan spirit perjuangan kemerdekaan belajar merupakan ciri khas sebuah pesantren, meskipun dengan sarpras (sarana dan prasarana) seadanya.
Tekad itu muncul dari kepedulian terhadap pendidikan. Pada mulanya, KH Rohmad Arifin, S.Th.I, memiliki azam (cita-cita yang kuat) untuk melibatkan masyarakat dalam mencetak generasi hamil Al Quran, lafdhan wa ma’nan wa amalan. Hal ini didorong selepas dari mesantren di Pondok Pesantren Madrasatul Quran (MQ) Tebuireng.
Meskipun, dengan azam yang kuat, KH Rohmad Arifin bertekad memulai dengan modal seadanya. Tidak muluk-muluk memimpikan pondok pesantren yang megah.
KH Rohmad Arifin mulai membangun pondok pesantren dari ruang tamu yang tidak seberapa luas di rumah orangtuanya sejak tahun 1997. Namun, karena bangunan rumah itu sudah mulai rapuh, maka diwakafkanlah sebagian tanah keluarga untuk didirikan pondok pesantren. Di atas tanah wakaf yang tidak terlalu luas itu, berdiri sebuah bangunan untuk menampung santri yang jumlahnya kurang lebih mencapai 550 orang, putera dan puteri.
Menurut KH Rohmad Arifin, semua santri itu membutuhkan ruang belajar yang layak, padahal pondok pesantren terus berkembang. Sehingga, kondisinya sudah tidak memadai dan memerlukan tempat yang baru. “Dan, Alhamdulillah, tempat baru tersebut (berjarak 500 meter) yaitu tanah KH Rohmad Arifin yang diwakafkan seluas 1700m². Sudah terbangun seadanya dari dana para donatur,” ungkapnya.
Bagi KH Rohmad Arifin, membangun pondok pesantren tersebut secara bertahap dan sebisanya, karena membutuhkan biaya yang besar. Sebab, untuk makan santri sehari-hari saja masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, KH Rohmad Arifin memberi kesempatan bagi kalangan donatur dan filantropis untuk menyalurkan sebagian rezeki berupa uang Rp. 50.000 atau beras 5 kilogram perbulan. Melalui nomor rekening 7194343315 Bank Syariah Indonesia (BSI) atas nama PONDOK PESANTREN MQHS. Atau, bisa diantar langsung ke alamat Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an MQHS (Madrasatul Qur’an Hidaayatussibyan), Watestanjung, Rt 6, Wringinanom, Gresik, Jawa Timur. Kode Pos: 61176.