Di tengah gegap gempita media massa menyoroti peristiwa pencabutan izin sebuah pondok pesantren di Jombang, maka pro dan kontra tentang eksistensi pesantren menjadi salah satu topik perdebatan hangat. Intinya, yang kontra memandang pesantren sudah terbelakang dan tidak relevan lagi di zaman “modern” ini. Sudah saatnya, pendidikan dikembalikan kepada lingkungan keluarga dan sekolah saja. Pesantren hanya menimbulkan kesan negatif dengan maraknya kasus-kasus seksual.
Sementara di sisi lain, kalangan yang propesantren masih memandang positif dengan pertimbangan-pertimbangan: pertama, kaum santri minim “tawuran”, minim demonstrasi, dan minim coret-coret. Kedua, pesantren mengajarkan kemandirian sejak dini. Dan, ketiga, pesantren banyak melahirkan ulama penjaga agama. Pesantren semakin diminati oleh masyarakat karena bukan lagi sebagai tempat mendidik anak nakal, tapi memiliki tujuan-tujuan pendidikan yang sesuai dengan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional. Tidak terpengaruh oleh ekses negatif sampah-sampah peradaban.
Cita-cita Kemandirian
Presiden Pertama RI, Bung Karno (Ir Soekarno, 1901-1970), mengangkat tema penting tentang kedaulatan tanah dan petani. Melalui sosok Bapak Marhaen, seorang petani, ia menjadikan ikon kedaulatan petani. Gagasan utamanya adalah petani berdaulat dengan lahan miliknya sendiri.
Pada objek yang sama, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari (1871-1947) pendiri Pesantren Tebuireng, memandang penting posisi petani bagi negeri. “Pak Tani itu ialah penolong negeri,” ungkapnya. Dan, bersama KHA Wahab Chasbullah, Hadratussyekh kemudian mendirikan sebuah koperasi yang diberi nama “Syirkatul ‘Inan”. Serikat penolong. Atau, dalam bahasa sekarang, bisa dipadupadankan dengan kata-kata “Koperasi Gotong Royong”. Petani dapat berdaulat jika saling tolong menolong dan bergotong royong. Cita-cita kemandirian petani ini, baik oleh Bung Karno maupun Hadratussyekh, tentu akan terjawab apabila parapetani mampu meningkatkan produksi pertanian mereka. Tidak dalam ikatan tengkulak dan tukang ijon.
Dikutip dari “Soeara Moeslimin Indonesia”, No. 2 Tahun ke-2, 19 Muharom 1363/15 Januari 1944, Tebuireng Online melansir pesan Hadratussyekh berikut;
“Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ Tani itoe ialah pembantoe negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan Pa’ Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan.”
Perserikatan Kongsi Dagang
Barangkali, ketika Bung Karno dan Hadratussyekh menulis tentang posisi penting petani bagi negeri, kebutuhan finansial belum begitu terasa sebagaimana saat sekarang. Ketika ketergantungan sebagian besar masyarakat Indonesia belum berpaling kepada keunggulan moneter. Koperasi yang dibentuk oleh Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari selain koperasi petani tersebut juga bertumpu pada organisasi perdagangan yang dikenal dengan sebutan “Nahdlatut Tujjar”.
Nahdlatut Tujjar sebagai kongsi dagang dikelola mirip VOC. Bedanya, jika VOC didirikan oleh parabangsawan, maka Nahdlatut Tujjar memiliki ciri koperasi atau serikat dagang. Serikat dagang ini menjadi populer ketika KH Samanhudi (1868-1956) di Solo mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) dan di Yogyakarta didirikan Perserikatan Muhammadiyah oleh KH Ahmad Dahlan (1868-1923).
Sementara sejarah moneter mulai berkembang setelah parabangsawan dan parasarjana Belanda berhasil mendirikan Bank Amsterdam yang mampu memberi pinjaman kepada masyarakat di Benua Eropa. Fungsi koperasi yang semula sebagai perkumpulan atau perserikatan kongsi dagang (produksi dan industri) berangsur-angsur menjadi “bank kecil” yang tersebar di seluruh dunia. Koperasi pun beralih fungsi menjadi tempat menyimpan dan meminjam permodalan untuk kemajuan usaha-usaha pertanian dan perdagangan. Dan, babak sejarah moneter mulai menapaki jejak-jejak sejarah hingga sekarang.