Zaman sudah semakin maju dan sudah berubah. Tataaturan pun berubah. Dan, judul “Mengembalikan Peran” tersebut hanya sebatas spirit saja. Melihat situasi dan kondisi yang memerlukan reaktualisasi gerakan dalam sebuah organisasi.
Antara KH Ahmad Dahlan dan KH Samanhudi
Keduanya memiliki pola gerakan yang sama dalam meningkatkan kualitas dan hubungan “bisnis” perbatikan di Solo dan di Yogyakarta. Kala itu, hukum Hindia Belanda masih membedakan kewarganegaraan antara suku-bangsa Belanda, Eropa, timur, dan pribumi.
Penguatan wacana ekonomi pribumi menjadi spirit dasar KH Ahmad Dahlan dan KH Samanhudi dalam menguatkan organisasi dagang. Jika KH Ahmad Dahlan menggunakan nama “Muhammadiyah” sedangkan KH Samanhudi menggunakan nama Serikat Dagang Islam (SDI). Dari perserikatan para pedagang batik ini, kemudian, semangat berwirausaha dan berdakwah menjadi fondasi dalam melakukan perlawanan terhadap monopoli perdagangan Pemerintah Hindia Belanda (PHB).
PHB di satu pihak, tidak menginginkan ada gejolak di masyarakat atas monopoli mereka. Mereka terus melakukan kompromi kompromi serta politik adu domba. Keluarnya kebijakan Politik Etis di satu sisi memang merugikan mereka. Karena, kalangan terdidik yang mereka bina di dalam sekolah malah menjadi pintar dan melek politik. Tapi, tetap menguntungkan bagi PHB dengan tenaga kerja murah, terwujudnya pengairan bagi lahan lahan perkebunan mereka, dan pemerataan tenaga kerja (terutama, sebagai tempat pembuangan bagi kalangan yang membangkang).
Kesadaran KH Ahmad Dahlan dan KH Samanhudi adalah kesadaran intelektual dan kesadaran ekonomi mandiri sehingga tidak menjadi bangsa yang terjajah. KH Ahmad Dahlan berperan cukup penting untuk mendirikan lembaga lembaga pendidikan melalui perserikatan Muhammadiyah bagi masyarakat pribumi.
Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dan Koperasi Petani
Berbeda dengan KH Ahmad Dahlan dan KH Samanhudi yang bergerak di perkotaan, Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari dan KHA Wahab Chasbullah membentuk koperasi petani. Langkah awal pendirian organisasi NU, didahului oleh tiga pilar organisasi, Nahdlatul Wathan yang bergerak di bidang pendidikan madrasah, Nahdlatut Tujjar di bidang ekonomi koperasi, dan Tashwirul Afkar di bidang keagamaan. Semula, KH Mas Mansur adalah salah satu tokoh yang mendirikan Tashwirul Afkar, namun belakangan lebih tertarik pada perserikatan Muhammadiyah. KH Mas Mansur di kemudian hari dikenal sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah.
Berbeda dengan SDI yang beralih pada gerakan politik Serikat Islam yang dipelopori oleh HOS Tjokroaminoto dan Muhammadiyah yang mengembangkan pendidikan dan dakwah, NU lebih menitikberatkan pada pola gerakan keagamaan (Al Ijtimaiyah Al Diniyah). Orientasi NU adalah politik kebangsaan dan pesantren (budaya).
Dari pasang surut politik nasional, NU lebih berdiam diri pada pendidikan pesantren dan masyarakat, meskipun pada 1953 berubah menjadi Partai Nahdlatul Ulama (PNU). Keterlibatan NU terlalu jauh ke ranah politik praktis menyebabkan sebagian besar warganya untuk kembali kepada Khittah NU 1926. Meskipun, pengertian “khittah” tersebut bersifat multitafsir. Di samping, pendirian NU memang dilatarbelakangi oleh politik internasional dengan dibentuknya Komite Hijaz yang menolak pengrusakan situs situs penting sejarah kenabian. Tapi, polemik politik terhadap Belanda juga tidak kalah penting.