Media sosial berperan penting dalam perubahan saat ini. Hal ini memang tak terpikirkan sebelumnya sehingga berdampak sangat serius. Perilaku perilaku negatif dengan mudah hadir setiap saat.
Manusianya, Bukan Medianya
Di manakah letak keburukan itu? Apakah pada orangnya sebagai subjek, media sebagai predikat, atau benda/orang sebagai objeknya? Sebagai makhluk berakal, subjeklah penentu baik atau buruknya sesuatu.
Belakangan, manusia sebagai subjek sering dibalik menjadi objek. Akalnya telah hilang. Tidak mampu lagi diajak berpikir.
Sekujur tubuhnya, bahkan pikirannya telah menjadi objek. Dijadikan bahan komersial alias bisa diperjualbelikan.
Pada tubuh, mulai dari objek objek kecantikan dan kejantanan sampai menjadi bahan bahan prostitusi. Pada pikiran, digiring pada halusinasi halusinasi dunia maya. Bergerak riang gembira tanpa melihat latar sosial dan keluarga. Pikiran ditumbuk dan dibenturkan pada ketergantungan (adiktif) pada media, mulai dari permainan (game) sampai tontonan tontonan tak senonoh. Rekayasa? Hampir tidak ada batas antara rekayasa dan sebenarnya di era kekinian.
Kurikulum Merdeka
Setiap orang dilahirkan merdeka. Mereka bisa menentukan nasib sendiri. Mau jadi apa, mau beragama apa. Tidak ada yang melarang. Namun, setiap orang berhadapan dengan norma. Mereka tidak berpikir sendiri dan hidup sendiri. Mereka diciptakan beragam, tidak seragam.
Suku-bangsa Indonesia telah memiliki kemerdekaannya sendiri, namun ada yang berpikir: Indonesia belum merdeka. Masih terjajah. Karena, banyak hal, Indonesia masih dibatasi seperti Undang Undang yang dibeli oleh kepentingan kepentingan dalam menguasai aset aset bangsa.
Kekhawatiran pada oligarki. Seperti ketika kaum bangsawan Belanda menyokong pendirian VOC. Mereka membiayai agar usaha usaha mereka dalam menaklukkan dunia dapat tercapai. Walhasil, semua kebijakan negara Belanda dapat mereka beli.
Kehadiran media sosial telah menjadi kontrol yang kuat, bahkan lebih dari itu. Masyarakat media bisa secara spontan memberikan “judge” terhadap sesuatu yang tidak disukai. Begitu pula, dapat seketika memberi apresiasi kepada sesuatu yang dibenci. Mereka yang sebenarnya adalah pemegang kedaulatan atas media.
Namun sayang, masih sebatas pada pilahan hitam dan putih kehidupan. Bukan dalam rangka membangun strategi masyarakat berbudaya. Belum. Media baru sebatas rintihan dalam sekejap bisa hilang.