Cirebon-Net26.id Jenis makanan kue kering ini sudah jarang didapat. Tanpa ada pangsa pasar yang jelas sebuah industri memang tak mampu bertahan lama. Banyak-banyak, industri kue kering gulung tikar karena muncul industri snack yang relatif lebih mudah dikerjakan dengan mesin dan menyerap tenaga kerja cukup besar. Sehingga menjadi industri yang menguasai pasar.
Bertempat di jalan Battembat, Desa Tengah Tani, Kabupaten Cirebon, Ardi (20 tahun), pengusaha Gapit24 mengatakan kalau usahanya adalah satu-satunya industri kue gapit yang masih bertahan hingga kini. Usaha Gapit24 telah dirintis sejak tahun 1996. Dan, Ahmad Mawardi, nama asli Ang Ardi, merupakan generasi kedua penerus usaha.
Umumnya, kue gapit di Kabupaten Cirebon tidak cukup berkembang, karena monoton. Tidak ada inovasi dan variasi.
Namun, Gapit24 mampu keluar dari pakem. Warna dan rasa kue gapit berkembang. Ada yang berwarna putih dengan citarasa bawang, berwarna kehitaman dengan citarasa kopi, serta berwarna ungu dengan citarasa ubi jalar.
Kue gapit seperti kue semprong zaman dahulu. Bedanya, kalau kue semprong besar-besar dan digulung, kue gapit tidak. Hanya model dan bentuknya lebih kecil sebesar telapak tangan anak kecil. Renyah seperti kerupuk. Rasanya, ada yang asin dan manis.
Sajian itu dibungkus dengan takaran timbangan pergram dan perkilogram. Gapit24 menggunakan terigu khusus yang dipesan dari Lampung. “Tidak semua terigu bisa digunakan untuk pembuatan kue gapit,” jelas Ang Ardi, pria berkacamata yang hapal Al Quran itu.
Sementara ini, Gapit24 mempekerjakan sebanyak 13 orang. Mereka sudah berumur puluhan tahun sejak pertama didirikan pabrik. Belum ada regenerasi, karena kesulitan mencari tenaga kerja baru. “Usaha perbaikan dengan menggunakan mesin sudah coba dilakukan, tapi tidak memenuhi ekspektasi, jauh dari harapan,” ungkap Ang Ardi, santri angkatan pertama Pondok Pesantren Hamalatul Quran Jombang itu. “Sehingga sekarang kembali lagi dengan model manual.”
Pembuatan kue gapit menggunakan perangkat cetak. “Kalau dulu biasa menggunakan japit atau gapit dengan tangkai yang panjang, sekarang karena modelnya kecil digunakan cetakan sebesar loyang ini. Kita menggunakan pembakaran melalui api dan dibolak balik. Satu kali cetakan bisa menghasilkan 10 kue gapit,” jelas Ang Ardi.
“Setiap hari ada pesanan yang dikirim ke warung-warung kue di seputaran Cirebon. Yang terjauh kita mengirim ke Bandung dan Sukabumi. Alhamdulillah, pesanan itu berjalan reguler, tidak putus. Yang terbesar, kita memasukkan ke swalayan-swalayan besar. Pembayaran dilakukan COD (cash on delivery), barang dibayar di tempat. Alhamdulillah,” kata Ang Ardi, lagi.
“Kita cukup bersaing dengan industri-industri kue kering berskala mesin besar. Kita menyajikan makanan sehat tanpa pengawet dan tanpa rasa buatan. Dibakar secara tradisional, menggunakan kompor. Kalau dulu pakai perapian kayu, tapi kayu sudah susah didapat. Tenaga-tenaga kerja di Gapit24 juga bukan siapa-siapa. Mereka adalah keluarga besar,” pungkas Ang Ardi yang sudah bersiap mengantar pesanan, naik kendaraan umum.