Muncul klaim Islamisasi ilmu begitu marak dari kalangan sebagian umat Islam. Sementara, orang-orang Barat membaginya menjadi ilmu Eksakta dan Sosial. Belakangan, ditambah lagi menjadi Humaniora. Ketiga model tersebut dimasukkan lagi ke dalam ilmu-ilmu umum untuk menyebut selain ilmu-ilmu agama.
Kesadaran Epistemologi
Imam Abu Hamid Al Ghazali (wafat 1111 Masehi) membagi ilmu menjadi dua macam, ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah. Dikatakan fardhu, karena menuntut ilmu bagi setiap muslim hukumnya wajib. Tidak ada toleransi usia. Hanya berbeda pada aspek kewajiban menuntut ilmu tersebut. Fardhu ain ditujukan untuk ilmu-ilmu mengenal Allah, sementara fardhu kifayah ditujukan kepada ilmu-ilmu yang bisa diwakilkan kepada salah satu atau kelompok/komunitas orang.
Pembagian ilmu di kalangan umat Islam tidak serumit pembagian ilmu di Barat. Jika di kalangan umat Islam berakhir pada universalisme Islam dan lokalitas sosial, maka berbeda di Barat. Pembagian ilmu di Barat yang sering ditengara berangkat dari ilmu pasti (ilmu alam atau eksakta) ternyata masih dibayang-bayangi oleh kerumitan sosial dan problem-problem kemanusiaan yang cenderung tidak terikat pada hal-hal immateri. Dengan kata lain, persepsi mengambil peranan penting di dalam memandang ilmu itu sendiri. Bagi umat Islam, terdapat kekhususan-kekhususan ilmu yang berorientasi diri (individu) serta keumuman-keumuman pelaksanaannya. Realitas sesungguhnya bersumber dari setiap manusia sebagai subjek aktif, baik terhadap pandangan-pandangan materi maupun immateri. Sementara kalangan Barat, terdapat varian-varian yang tidak seragam, bisa bersumber dari realitas alam, realitas sosial, realitas diri, realitas fungsi, dan sebagainya.
Nilai-nilai Perspektif
Kekhususan ilmu bagi umat Islam telah menimbulkan nilai-nilai perspektif sehingga mengarah kepada konotasi dan identik. Mereka sulit keluar dari anomali-anomali subjektif. Hal ini sebenarnya bisa pula terjadi di Barat dalam bahasa dan bentuk yang lain.
Tidak ada hubungannya antara sikap berani atau tidak, suka perang atau tidak, namun nilai-nilai perspektif sangat berpengaruh.
Orang-orang Barat yang mengambil pengetahuan dari luar dirinya senantiasa memandangi sebagai objek. Baik manusia maupun materi kebendaan dipandang dan disikapi dan diperlakukan sebagai objek. Berbeda dengan umat Islam yang selalu memandang diri ke dalam sebagai subjek. Bahkan, segala bentuk di luar dirinya juga sebagai subjek. Sehingga pada praktiknya semua adalah subjek, baik subjek itu berada pada posisi di atas (superior) maupun berada pada posisi di bawah (inferior).
Pada pengaruhnya, ide-ide hegemoni dan megalomania sering muncul di Barat. Merasa lebih memiliki superioritas, karena selain diri mereka disebut objek. Sementara umat Islam sering merasa rendah diri yang parah dalam bingkai bahasa-bahasa eufimisme, penghalusan bahasa karena dianggap tabu dan terlarang. Yang pertama dan utama, mereka tidak mampu melepas subjektivitas diri.
Dalam banyak hal, orang-orang Timur pada umumnya memandang diri dan objek di luar diri adalah subjek sebagaimana gunung, laut, hewan-hewan, tumbuh-tumbuhan adalah subjek yang perlu diperlakukan sebagaimana mestinya sebagai subjek.
Cirebon, 28 Mei 2022.