Seorang teman menjelaskan tentang perbedaan korupsi dan bukan. Korupsi itu apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan uang atau aset aset milik negara. Kalau di luar konteks negara, penyimpangan itu masuk kategori “penggelapan”. Demikian, undang undang hukum pidana menyebutkan. Yang menjadi pertanyaan adalah layakkah dalam forum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengangkat tema “Amplop Kiai” tersebut?
Tentu, jawabannya tidak layak. Karena, urusan KPK adalah mengenai uang atau aset aset negara. Sementara kiai adalah tokoh kultural sama seperti tokoh tokoh masyarakat lainnya.
Kiai lahir dari proses yang berlangsung di masyarakat sehingga ditokohkan. Dengan kata lain, kiai lahir tidak karena mendapat gelar akademik atau mendapat sertifikasi negara untuk menjadi kiai. Kiai lahir dari penilaian penilaian positif masyarakat, baik secara subjektif maupun objektif. Secara objektif, seorang kiai dinilai dari perilaku, sikap, ucapan, dan tindakannya yang dipandang baik di mata masyarakat. Secara subjektif, kiai memberi banyak solusi bagi masyarakat melalui nasehat nasehat yang bersifat informal. Kiai juga menjadi tempat tumpuan dan sandaran bagi orang orang bermasalah seperti preman preman yang ingin mendapatkan petunjuk cara bertobat misalnya, bahkan politisi politisi yang bermasalah atau ingin menang di kontestasi Pemilu. Politisi itu perlu dukungan moril.
Amplop kiai sering menjadi sorotan, karena biasanya berisi uang. Contoh yang pernah mengemuka adalah ketika tokoh tokoh politik berkunjung pada seorang kiai lalu memberi sebentuk amplop.
Bagi kalangan masyarakat biasa atau seorang pengusaha yang datang berkunjung kepada seorang kiai, hal demikian lumrah. Mereka memberi dengan sukarela, tanpa paksaan. Dan, tidak sedikit sales sales yang datang kepada kiai untuk memperkenalkan produk produk mereka agar mendapat iklan gratis. Karena, kiai memiliki basis massa yang banyak, maka otomatis produk mereka bakal cepat dikenal melalui tangan kiai. Bandingkan dengan biaya “bintang iklan” dengan bayaran yang mahal! Jauh tidak sebanding. Padahal, kiai akan dengan ikhlas dan sukarela untuk turut mempromosikan produk produk tersebut. Kalaupun seorang politisi datang berkunjung (sowan) kepada seorang kiai dengan membawa amplop, juga dengan harapan mendapat dukungan, baik dari kiai tersebut maupun dari jamaahnya.
Keributan antara partai politik dan organisasi keagamaan, serta dengan sosok kiai, belakangan adalah keributan rasional dan proporsional. Mengapa rasional? Karena, transaksi dan kontrak politik antara partai politik dan massanya sudah sangat jelas. Setiap suara memiliki nilai harga. Jika di Kabupaten Cirebon misalnya, nilai harga persuara konstituen adalah Rp. 3.000,-, maka di tempat lain bisa kurang atau lebih besar lagi. Tergantung daerah masing masing. Sehingga masyarakat pemilik suara sebetulnya dapat secara terang terangan menuntut hak mereka kepada partai yang didukung oleh mereka. Tidak ada kaitan dengan kiai. Karena, transaksi sudah jelas diberikan, bahkan dilegalkan, antara partai politik dan massanya. Persoalan regulasi kemudian beragam bentuk, itu persoalan lain. Yang penting, kiai tidak ada keterkaitan di dalam transaksi ini. Dan, yang perlu menjadi perhatian serius adalah ketika kiai bertindak juga sebagai seorang politisi. Tapi, masyarakat pun sudah cerdas untuk menilai, mana kiai politisi dan bukan.
Terlepas, dari amplop kiai sebagai budaya yang berkembang pada masyarakat umum, sebetulnya budaya amplop tersebut bukan semata monopoli kiai, melainkan ada banyak dukun, tokoh masyarakat adat, dan lain lain, juga mendapat perlakuan yang sama. Mereka dihormati sesuai dengan nalar masyarakat. Ada yang membawa uang, ada pula yang membawa buah buahan, bahkan tidak sedikit yang menghadiahkan dengan barang barang mewah seperti cincin beserta batu permata, atau sebuah mobil mewah. Selama masih atas nama pribadi atau masyarakat dan tidak menggunakan uang atau aset aset negara, maka hal demikian bukan termasuk korupsi. Tindak penyelewangan korupsi terjadi jika berhubungan dengan hak dan milik negara.
Dengan demikian, korupsi atau tidaknya dapat dilihat dari mana, uang apa, dan aset siapa yang digunakan.