Pesantren Modern
Modernisasi pendidikan dilakukan sejak Belanda melakukan politik etis dengan mendirikan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi kalangan pribumi. Modernisasi pendidikan ini bertolak belakang dengan pola tradisional. Modernisasi pendidikan dan pengajaran menekankan pada akumulasi berbagai matapelajaran ke dalam rangkaian kurikulum yang tertib administrasi dan berkelas. Jadi, pendidikan ini terkonsentrasi pada pengetahuan kognitif seorang murid dari berbagai sumber disiplin ilmu. Datangnya ilmu pengetahuan dari berbagai arah dan sumber, sehingga kemandirian keilmuan tergantung pada kemampuan analisis kritis sang murid sendiri. Matapelajaran yang diajarkan pun meliputi pengetahuan umum nonkhusus. Pendidikan modern tidak menekankan kemampuan mental sebagaimana pendidikan tradisional. Dengan kata lain, pesantren modern bertindak objektif dengan mengabaikan peran peran subjektif yang biasa menjadi landasan pada pesantren pesantren tradisional.
Pesantren modern berbeda dengan pola tradisional yang masih tergantung pada sang guru karena sumbernya satu arah. Bimbingan bimbingan terus berlangsung, meskipun sang murid sudah tidak berada di tempat gurunya lagi. Menurut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), seorang kiai memiliki hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren. Kekuasaan kiai absolut, sehingga santri seumur hidupnya akan senantiasa merasa terikat dengan kiainya.
Sementara pendidikan modern melepas tanggung jawab kepada muridnya untuk mengembangkan pengetahuan yang telah didapat di sebuah lembaga pendidikan. Modernisasi pendidikan pesantren di Indonesia dipelopori oleh Pesantren Thawalib Padang Panjang, Al Irsyad, dan Pesantren Modern Gontor.
Di sini, akan dijelaskan perkembangan pendidikan modern di Pesantren Gontor, salah satu pesantren yang cukup dikenal di Indonesia.
Pola pendidikan dan pengajaran di Pondok Pesantren Modern Gontor sama sekali berbeda dengan pesantren pesantren tradisional di Jawa. Penekanan pada sistem klasikal dan bahasa (Arab dan Inggris) telah menempatkan unsur universalisme Islam lebih bersifat holistik (syumuliah). Kepatuhan terhadap satu mazhab hukum atau akidah tidak menjadi kewajiban. Hal ini ditujukan untuk memperkecil ruang perbedaan (ikhtilaf) yang biasa terdapat di dalam masyarakat bermazhab. Materi-materi pelajaran tidak mementingkan pola transmisi genealogi keilmuan melalui sanad. Sehingga corak pemahaman terhadap teks teks keagamaan cenderung lepas dari konteks kesejarahan. Aliran aliran di dalam konteks historisitas keilmuan tidak menjadi pegangan. Sebagaimana perbedaan perbedaan pendapat paraulama yang tertuang jelas di dalam khazanah kitab kitab klasik (kuning) kerap muncul. Meskipun, perbedaan pendapat tersebut biasa dapat pula menggunakan model nalar konklusi.
Sematan modern pada Pondok Pesantren Modern Gontor tidak bisa dipandang sebagai konklusi dan konsensus pendapat secara referensial, melainkan berbentuk simplikasi. Modern lebih disikapi sebagai polarisasi keilmuan: agama dan alam. Menurut Abdullah Syukri Zarkasyi sebagaimana dikutip oleh Syamsuri, pesantren senantiasa kukuh dan istiqamah yaitu: pertama nilai nilai keislaman dan jiwa pendidikan yang terdapat di pesantren. Kedua, sistem asrama dengan disiplin tinggi, artinya dengan sistem asrama tercipta perpaduan tiga pusat pendidikan yaitu: pendidikan sekolah (formal), pendidikan keluarga (informal) dan pendidikan masyarakat (bukan formal). Ketiga, bahan bahan pengajaran yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu alam.
Dengan demikian, untuk melihat corak intelektual yang dikembangkan oleh Pondok Pesantren Modern Gontor adalah pada aspek kemodernan yang cenderung bersifat kontemporer.