Pesantren Sistemik
Jika peneliti peneliti pesantren pada umumnya biasa membagi polarisasi tradisional dan modern, perkembangan Pesantren Tebuireng dalam membangun sistem cukup signifikan. Pada satu sisi, Pesantren Tebuireng masih mempertahankan materi materi pendidikan dan pengajaran Salafiyah, namun dari segi bentuk telah merubah sistem pendidikan dan pengajaran kepada pola klasikal modern. Di satu sisi, Pesantren Tebuireng mempertahankan khazanah khazanah dan tradisi “tardisional”, sementara di sisi yang lain menerima perubahan perubahan yang berdampak pada pola kepemimpinan menjadi sistemik (bisa dikatakan dengan istilah lain, tersistem). Kata “tradisional” (dalam tanda petik) untuk disematkan kepada Pesantren Tebuireng memang agak sulit diterapkan, karena sudah dianggap sudah keluar dari koridor tradisi pesantren pesantren salafiyah pada umumnya. Begitu pula, untuk dikatakan sebagai “pesantren modern”, meskipun dicukupi oleh fasilitas yang mewah, Pesantren Tebuireng sudah melampauinya.
Pola sistemik (nizhamiyah) tersebut memang bisa diambil dari kasus Pesantren Tebuireng. Pesantren ini masih mempertahankan pola pendidikan dan pengajaran berbasis tradisional (salafiyah). Namun, dalam pengembangan dan metode transformasi pendidikan dan pengajaran sudah menggunakan pola kurikuler sehingga dapat mengadopsi disiplin ilmu ilmu di luar keilmuan yang berkembang pada pesantren pesantren salafiyah lainnya. Memang, tidak mudah bagi Pesantren Tebuireng untuk membuat formula sendiri manakala berbeda dengan pesantren pesantren lainnya. Namun, capaian terakhir telah dapat memberi inspirasi besar bagi pesantren pesantren lain, terutama dari segi kemajuan manajerial.
Bagi Pesantren Tebuireng, kurang lebihnya, kata “pesantren” merupakan representasi dari rumah besar organisasi antara keluarga “ndalem” dan “santri santri senior” penerus tradisi (turats) secara informal. Sementara, kata “pondok” lebih merepresentasikan kepada sebuah yayasan yang menaungi lembaga lembaga Pendidikan formal di bawahnya. Sehingga penyebutan kata “Pesantren Tebuireng” tidak menyertakan kata “pondok”. Begitu pula, pada aspek aspek usaha, Pesantren Tebuireng membentuk badan badan usaha sendiri yang terlepas dari pesantren dan yayasan, baik usaha usaha tersebut dikelola oleh keluarga “ndalem” maupun dari kalangan santri santri alumni. Baik secara personal maupun kolektif. Dengan demikian, orientasi Pesantren Tebuireng berjalan secara sistemik.
Demikian pula, pada sistem pengetahuan yang dibangun di Pesantren Tebuireng lebih berbentuk sistemik dan ensiklopedik. Sebuah sistem pengetahuan yang mengakomodasi berbagai unsur pengetahuan. Meskipun di dalam terapannya 75 persen pengetahuan agama dan 25 persen pengetahuan umum dalam perspektif kategori masyarakat awam. Bagi Pesantren Tebuireng, tidak ada rekayasa antara “ilmu umum” dan “ilmu agama”, karena kedudukan semua ilmu sama. Yang membedakan adalah subjek subjek penggunanya.
Tentu, pola perbandingan dapat dilihat pada pola pola pengajaran di pesantren pesantren tradisional pada umumnya, begitu pula pada pesantren pesantren modern. Epistemologinya berbeda. Pada pesantren pesantren salafiyah umumnya, satu disiplin pengetahuan diampu oleh seorang tutor hingga pada tingkat advance mampu menguasai satu kitab dalam majelis musyawarah (syawir). Murid murid dituntut untuk menguasai dan mampu membaca sendiri sebuah “kitab babon” (referensial) yang telah ditetapkan oleh pesantren pada disiplin ilmu tertentu. Kekhasan yang dimiliki oleh pesantren pesantren prakemerdekaan. Setiap pesantren menonjolkan satu disiplin ilmu tertentu sehingga dikenal Pesantren Tebuireng adalah pesantren hadis, Pesantren Krapyak adalah pesantren Al Quran, Pesantren Langitan dan Lirboyo adalah pesantren tatabahasa Arab, dan Pesantren Plosomojo sebagai pesantren fiqh.
Sementara Pesantren Tebuireng dengan pola sistemik ini, seorang santri tidak diwajibkan menguasai satu kitab tertentu. Melainkan harus mampu menguasai dasar dasar dan kaidah umum (ushul) dasar dasar keilmuan. Kalaupun seorang santri ingin menguasai satu bidang ilmu tertentu, dia harus belajar mandiri sesuai spesialisasi yang diinginkan.
Tentu, masing masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada pesantren pesantren tradisional, penguasaan materi pelajaran lebih matang dan detil. Persoalan persoalan parsial (furu’iyyah) dirinci dengan seksama, tentu dengan risiko pemahaman yang satu arah. Garis tegas benar-salah, dan halal-haram dijadikan pokok pikiran di dalam menghadapi setiap persoalan.
Di Pesantren Tebuireng, penguasaan dasar dasar dan kaidah kaidah umum keilmuan memberi keleluasan di dalam menyikapi persoalan persoalan, baik persoalan hukum maupun politik. Dengan kata lain, jika pesantren pesantren tradisional lebih bersifat homogen di dalam emosi dan pandangan pandangan, maka di Pesantren Tebuireng lebih bersifat heterogen dan penafsiran yang didapatpun tidak tunggal.