Eits! Jangan berprasangka dia brondong! Bondong tidak termasuk dalam kepercayaan tertentu. Klenik atau takhayul. Tapi, kebiasaan di tempatku yang suka membuat istilah istilah lucu. Bahkan, hantu yang biasa menakutkan. Di tempatku, hantu tak lebih dari sebutan lucu.
Bondong itu nama salah satu hantu di tempatku. Kalau di Jawa hantu, ada macam macam. Ada Wewe Gombel, Demit, Pocong, Kuntilanak, dan lain sebagainya. Semakin banyak benda bergerak semakin banyak imajinasi hantu yang muncul.
Selain Bondong, di tempatku ada juga yang namanya Ajis. Aneh, kan? Ya, itulah anehnya di tempatku. Suka bikin istilah sendiri sendiri. Ternyata, hantu itu tidak berkaitan dengan dunia astral. Makanya, mereka percaya kalau Bondong itu benar benar ada. Mungkin, maksud mereka, Bondong itu hantu yang spesialis makan rezeki milik orang lain. Hantu, kok, spesialis? Kayak dokter saja pake spesialis!
Ya, itu lucunya di tempatku. Entah, di tempat lain? Agaknya perlu dibudidayakan lagi agar banyak hantu hantu dengan spesialisasi yang bermacam macam. Ada hantu spesialis ngeganggu orang lain, bisa dinamakan yang lebih unik lagi misalnya Paijo. Tapi, ndak keren! Hantu kok namanya Paijo? Mungkin, Tukul saja atau nama yang orang lain belum tahu?
O, ya, di Barat, ada hantu baik hati, namanya Casper. Bentuknya lucu. Imut, ngegemasi. Hantu kesepian yang suka menolong orang. Bagaimana kalau berikutnya ada hantu yang namanya Ambo? Mungkinkah bisa masuk daftar sensus berikutnya pada Pileg atau Pilpres mendatang? Ambo di tempatku adalah sebutan untuk orang pertama. Sebagian suku, mungkin dari Minang, menyebut Ambo sebagai orang pertama. Ambo di tempatku belum jadi hantu. Belum lulus! Belum layak karena gagal mengikuti tes, padahal baru tes percobaan. Barangkali saja, pada suatu saat, Ambo akan menjadi hantu dengan spesialisasi yang baru. Barangkali, iya, barangkali juga tidak. Zaman sekarang, Ambo sangat banyak sehingga tak bisa dijelaskan karena banyaknya.
Hantu Bondong muncul ketika salah seorang teman pernah mengikuti kontestasi pemilihan umum legislatif. Dulu, sudah sangat lama sekali. Sebelum ada handphone pintar. Diceritakan olehnya, ia pada penghitungan awal masuk pada nominasi pemenang. Suaranya lumayan banyak. Bisa satu kursi untuknya. Bahkan, koran lokal pada edisi pertama menyebutkan namanya. Waktu itu belum ada seranta selengkap sekarang yang bis menskrinsut bukti dan fakta lapangan. Walhasil, sang teman sudah sangat senang. Di wajahnya tergambar akan duduk di antara jajaran terhormat. Memakai jas safari selayaknya.
Tetapi, betapa terkejutnya dia. Hari demi hari, jumlah suaranya kian merosot. Hilang! Dengan kesal, sang teman bilang, “Hantu Bondong! Suara suaraku dimakan Bondong!” Ada kegetiran dan kekhawatiran. Upaya dan jerih payahnya bertahun tahun berbuah sia sia. Matanya nanar menatap pohon Kapuk yang berusia lebih tua dari usia Republik. Tak ada yang bisa menebak, kalau sang teman berpikir: hantu Bondong bersemayam di pohon Kapuk di depan rumahnya itu.
Ramalan demi ramalan yang semula terdengar meyakinkan, perlahan mulai sirna. Padahal, dia sudah mendatangkan ahli ramal paling sakti di tempatku. Hitung hitungnya semestinya tidak meleset. Jitu! Sang peramal sering menjadi tempat tumpuan untuk “Nalo” kala itu. Nalo, Nasional Lotre. Lotre berskala nasional. Dengan kesal, sang teman berkata, “Bondong! Bondong! Bondong!” Sejak itu, nama Bondong jadi hantu terkenal di tempatku.